PRINSIP
DAN PENGECUALIAN DALAM WORD TRADE
ORGANISATION (WTO)
A.
Prinsip-prinsip
Dasar Word Trade Organisation (WTO)
Prinsip adalah
asas kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir.[1] Adapun prinsip-prinsip hukum atau yang disebut dengan asas-asas
hukum merupakan dasar pembentukan hukum yang secara filosofis yang mempunyai
atau memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum.
Dalam
perdagangan internasional, secara garis besar prinsip-prinsip hukum menghendaki
adanya perlakuan yang sama atas setiap produk, baik terhadap produk impor
ataupun produk domestik. Tujuan adanya penerapan prinsip tersebut adalah untuk
terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.[2]
Dalam pemaparan
ini penulis membagi prinsip-prinsip dagang tersebut menjadi dua klasifikasi,
yaitu pengaturan mengenai non-diskriminasi serta pengaturan mengenai dispensasi
dalam aturan main GATT/WTO.
1.
Pengaturan
Mengenai Non-Diskriminasi
a.
Most
Favored Nation
Most Favored Nation
adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi,
yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan
anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara
anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan
kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan
anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan.[3]
b. National Treatment
Prinsip
ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang
berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu
negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk
barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.[4]
Menurut
Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National
Treatment adalah sebagai berikut:
1) Adanya
kepentingan lebih dari satu Negara
2) Kepentingan
tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.
3) Negara
tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan
sendiri maupun kepentingan Negara lain yang berada di wilayahnya.
4) Perlakuan
tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan
tetapi menimbulkan kerugian bagi Negara lain.[5]
c.
Tarif Binding atau Tarif Mengikat
Tarif
Binding adalah sebuah janji oleh suatu negara untuk tidak menaikkan tarif untuk
masa mendatang.[6]
Tarif Binding dianggap menguntungkan bagi perdagangan internasional karena
memberikan potensi eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.[7]
Adapun
penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya,
yaitu:
1)
Tarif sebagai pajak adalah tarif
terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara
yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2)
Tarif yang dilakukan untuk melindungi
produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara pengekspor.
3)
Tarif untuk memberikan balasan
(retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui
praktek subsidi terhadap produk impor.[8]
d.
Persaingan yang Adil
Aturan
GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil dan fair competition.
Dengan demikian subsidi terhadap ekpor dan dumping, GATT semakin menghadapi
masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor negara pengimpor diberikan
hak untuk mengenakan anti dumping duties
dan counter vailing duties sebagai
imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.
e.
Larangan Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip
lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restruksi yang bersifat
kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang serupa ketentuan ini oleh
para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan
halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling sering diterima sebagai
warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2.
Pengaturan
Mengenai Dispensasi
a.
Prinsip proteksi
melalui tarif
Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan
mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan
melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang
diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection)
dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca
pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18).[9] Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin memperbaiki posisi
financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai
barang yang diizinkan untuk diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang
ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang
dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang
diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter
atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai
tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.[10]
b.
Prinsip waiver dan pembatasan darurat terhadap impor
Prinsif waiver
dan pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948 (Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika
sebagai akibat perkembangan yang tak terduga dan sebagai dampak dari kewajiban
negara peserta menurut perjanjian ini (GATT), suatu produk diimpor ke wilayah
suatu negara peserta dalam jumlah yang semakin besar atau dalam keadaan sedemikian
rupa sehingga menimbulakan atau mengancam untuk menimbulkan kerugian yang
serius terhadap para produsen produk serupa atau produk yang kompetitif dalam
negara diwilayah tersebut, maka dalam kaitannya dengan produk tersebut negara
peserta bebas untuk menangguhkan kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan
menarik kembali atau memodifikasi konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu
yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan darurat terhadap impor produk tertentu yang terdapat dalam
Pasal 19 GATT 1948, adalah sebuah tindakan yang memperkenankan suatu
negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan
substansial yang merugikan industri dalam negeri.[11]
Berdasarkan penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa
dalam sebuah tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara
anarkis tanpa terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur
yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1)
Tindakan
tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah
untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian
serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia.
Jelasnya pemerintah memiliki fungsi sebagai alat kontrol dalam mengatur
perdagangan dalam dan luar negerinya dengan membuat sebuah kebijakan. Dalam hal
ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang
terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2)
Terdapat
kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini
adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang
dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian
serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang
diakibatkan melonjaknya impor dari luar.[12]
Dari kacamata ekonomi, kerugian
tersebut bisa berupa kerugian langsung seperti matinya pasar-pasar domestik,
matinya industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima
secara tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan
pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3)
Tindakan
tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4)
Terdapat barang
sejenis.
Barang sejenis adalah barang
produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang
terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi
menyerupai barang terselidik dimaksud.[13]
5)
Terdapat barang
yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing
adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau
substitusi barang terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota
apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat
dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.[14]
B.
Pengecualian-pengecualian
Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Hukum WTO
menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan
dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya.
Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap
disiplin dasar dari WTO.
Pengecualian-pengecualian
ini memperbolehkan anggota WTO dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan
mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi
nilai-nilai dan kepentingan sosial lainya yang sangat penting, meskipun
peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin subtansif yang
terkandung dalam GATT 1994.[15]
Adapun
pengecualian tersebut dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis diantaranya,
yaitu:
1.
Pengecualian
Dalam Pasal 20 GATT 1994
Pengecualian
yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan
nilai-nilai dan kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang
tercantum dalam Pasal 20 GATT 1994. Dalam menentukan apakan suatu tindakan yang
seharusnya tidak konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan
berdasarkan Pasal 20 GATT 1994, haruslah selalu dievaluasi:
a.
Apakah tindakan
tersebut sementara dan dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang secara
spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal 20 GATT 1994.
b.
Apakah dalam
aplikasinya tindakan tersebut telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang
terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut.
Pasal 20 GATT
1994 dalam ayat (a) sampai dengan (j) memberikan dasar pembenaran yang
jumlahnya terbatas dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan
yang berbeda-beda. Pasal 20 GATT 1994 dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap
tindakan-tindakan proteksi yang dipergunakan untuk:
a.
Perlindungan
moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 20 (a)).
b.
Untuk
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 20
(b)).
c.
Untuk menjaga
kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak
kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan
dengan aturan GATT (Pasal 20 (d)).
2.
Pengecualian
Dalam Pasal 14 GATS
Berdasarkan
Pasal 14 GATS General Agrement on Trade in Services (Perjanjian mengenai
perdagangan dibidang jasa), anggota WTO bisa membenarkan tindakan yang
seharusnya tidak sesuai dengan GATS apabila:
a.
Perlindungan
moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 14 (a)).
b.
Untuk
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 14
(b)).
c.
Untuk menjaga
kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak
kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan
dengan aturan GATS (Pasal 14 (c)).
Anggota WTO
bisa mendasarkan pada Pasal 14 GATS untuk membenarkan tindakan yang (1)
bertentangan dengan Pasal 17 GATS, asalkan perbedaan perlakuan antara jasa dan
penyedia jasa dari luar dan dari dalam negeri tersebut ditujukan untuk
memastikan pengenaan dan pemungutan pajak langsung yang adil dan efektif (2)
bertentangan dengan Pasal 2 GATS, karena perlakuan antara jasa dan penyedia
jasa dari berbagai Negara disebabkan dari perjanjian internasional untuk mencegah
pengenaan pajak berganda.
3.
Pengecualian
Dalam Keadaan Ekonomi Darurat
Emergency
Protection adalah sebuah
tindakan pengamanan terhadap industri domestik ketika terjadi situasi lonjakan
impor yang menyebabkan atau adanya ancaman yang akan menyebabkan kerugian yang
serius.
Secara umum,
tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994. Akan
tetapi masih dapat dibenarkan berdasarkan pasal 19 GATT 1994 jika dapat
memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut, tujuan dari
suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan kepada
industri domestik dan untuk memberikan waktu bagi industry domestik untuk dapat
beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru.[17]
Sebagaimana
diatur dalam pasal XIX GATT 1994, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat
diterapkan bila tiga persyaratan telah dipenuhi, yaitu:
a.
Lonjakan Impor.
Persyaratan untuk lonjakan impor
haruslah terkini, tiba-tiba, dalam jangka waktu yang relatif singkat, tajam dan
signifikan.[18] Terlebih lagi lonjakan impor tersebut harus tidak dapat diprediksi
sebelumnya. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah suatu kondisi dalam
kenyataannya merupakansuatu kondisi yang darurat. Jika lonjakan impor telah
terjadi beberapa waktu yang lalu atau telah terjadi selama preode yang panjang
atau kejadiannya hanya terbatas pada waktu tertentu atau kejadian ini telah
dapat diprediksi sebelumnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah ada kondisi
darurat sesuai dengan apa yangn telah disyaratkan dalam pasal XIX GATT 1994.
b.
Kerugian yang
Serius
Kerugian yang serius terjadi apabila
ada kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industry domestik.
Kerugian yang serius merupakan persyaratan yang lebih ketat daripada
persyaratan kerugian material yang diterapkan terhadap pengenaan tindakan anti
dumping atau tindakan retaliasi. Ini bukanlah suatu yangmengagetkan dikarenakan
tindakan pengamanan perdagangan diterapkan pada perdagangan yang fair,
sementara tindakan anti-dumping atau retaliasi diterapkan terhadap perdagangan
yang tidak fair. Untuk menentukan apakah terdapat ancaman kerugian yang
serius, maka hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1)
Nilai dan
jumlah dari lonjakan impor dari barang yang dipermasalahkan dilihat secara
absolut atau relatif.
2)
Pangsa pasar
domestik yang diambil oleh lonjakan impor tersebut
3)
Perubahan
tindakan penjualan, produksi, kemampuan untuk berproduksi, kapasitas yang
digunakan, keuntungan dan kerugian dan tenaga kerja.
c.
Hubungan Kausal
Persyaratan ketiga merupakan
persyaratan subtantif terakhir dalam suatu tindakan pengamanan perdagangan
adalah persyaratan adanya ’hubungan kausal’. Ada dua tes yang harus dilakukan
untuk membuktikan adanya hubungan kausal tersebut, yaitu:
1)
Pembuktian
adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian yang serius atau
ancaman untuk itu.
2)
Identifikasi
kerugian yang ditimbulakn akibat faktor-faktor lain selain faktor lonjakan
impor dan tidak menyebabkan kerugian ini terhadap impor yang dipermasalahkan.
4.
Pengecualian
Untuk Pembangunan Ekonomi
Pengecualian
terakahir yang diberikan oleh WTO adalah pengecualian pembangunan ekonomi untuk
membantu Negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai
perlakuan yang khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment)
untuk anggota Negara berkembang guna memfasilitasi mereka agar dapat masuk ke
dalam sistem perdagangan dunia untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka.
Ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam enam kategori:
a.
Ketentuan yang
ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan anggota dari Negara
berkembang.[19]
b.
Ketentuan untuk
anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan Negara berkembang.
c.
Flexibelitas
dari komitmen dalam bentuk tindakan dan penggunaan instrument kebijakan.
d.
Jangka waktu
transisi
e.
Bantuan teknis
f.
Ketentuan yang
berkaitan dengan anggota Negara terbelakang.
Anggota Negara
berkembang punya hak untuk mengenakan bea masuk yang lebih tinggi dari batas
tarif yang disepakati sementara waktu guna memajukan pembentukan industri baru.
Terlebih lagi anggota Negara berkembang bisa mengenakan tindakan pengamanan
perdagangan dengan jangka waktu maksimum yang lebih dari delapan tahun dan
beberapa Negara berkembang sudah dikecualikan dalam larangan memberikan subsidi
yang berkaitan dengan ekspor.
Dengan adanya
pengecualian tersebut, maka GATT sebagai organisasi perdagangan dunia yang
menjunjung liberalisasi ekonomi juga memperbolehkan Negara maju untuk
memberikan perlakuan tarif yang lebih menguntungkan bagi produk impor yang
berasal dari Negara berkembang. Pengecualian tersebut memperbolehkan anggota
untuk bertindak menyimpang dari kewajiban dasar perlakuan MFN dalam GATT 1994
dalam rangka memajukan perekonomian Negara berkembang.[20]
Berdasarkan
semua penjelasan di atas, apabila ditinjau dari segi hirarki yang dimulai dari
prinsip sampai pada beberapa pengaturan pengecualian, maka dapat diketahui
semua dispensasi tersebut memang terpisah secara fungsional, tetapi apabila
menengok kembali pada defenisi safeguard dalam Pasal 1 Kepres Nomor 84
Tahun 2002 yang berbunyi:
“Tindakan
Pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian
serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri
sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara
langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar
industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian
serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.[21]
Definisi di
atas mengandung dua point penting yang
menjadi dasar suatu tindakan dapat dikatakan sebagai safeguard, yaitu
berupa tindakan pengamanan yang diambil pemerintah serta tindakan tersebut
berfungsi untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian
serius industri dalam negeri. Dengan melihat point tersebut lalu dikomparasikan
dengan beberapa prinsip dan peraturan pengecualian yang telah dipaparkan di
atas, maka dapat diketahui bahwa semua tindakan dispensasi baik yang berupa
anti-dumping, countervaling dutis, prinsip proteksi melalui tarif sampai
pada beberapa pengaturan pengecualian dapat digolongkan menjadi safeguard
meskipun secara fungsional berbeda dalam pengaturan WTO akan tetapi dalam hal
tujuan sudah dapat memenuhi kreteria safeguard itu sendiri.
Untuk mempermudah pemahaman tentang bentuk-bentuk safeguards
yang
ditetapkan oleh World Trade
Organization (WTO), maka hal
tersebut dapat disistematisasikan sebagai berikut:
![]() |
|||
![]() |
Tabel. 1 Sistematika Safeguards
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa GATT/WTO selain
berpegang teguh pada komitmennya dalam liberalisasi perdagangan, tetapi disisi
lain GATT/WTO juga mempunyai pertimbangan dalam mengimplementasikan semua
prinsip-prinsip yang menjadi dasar aturan dagangnya kepada Negara-negara
berkembang dan Negara terkebelakang. Proteksi
melalui tariff, prinsif waiver dan pembatasan darurat terhadap impor merupakan beberapa
perwujudan dari dispensasi yang diberikan GATT/WTO untuk Negara-negara yang
belum siap bersaing dalam perdagangan bebas.
Jelasnya Word Trade Organisation (WTO)
sebagai organisasi perdagangan dunia yang menjunjung liberalisasi ekonomi juga
mempunyai aturan yang jelas tentang proteksi yang legal menurut aturan dan
proteksi ilegal dalam perdagangan internasional.
Dengan demikian untuk sementara anggapan
yang menyebutkan bahwa Word Trade
Organisation (WTO) merupakan sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa sudah bisa
terbantahkan, karena berdasarkan pemaparan yang ada di atas menegaskan bahwa Word
Trade Organisation (WTO) membuka
kesempatan bagi seluruh Negara anggota untuk mendapatkan hak dan keadilan yang
sama. Semuanya mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya apabila
itu memang dibutuhkan dan semua anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh keadilan apabila terjadi sengketa antara sesama Negara anggota.
[1] Tim
Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Media Center,tt), hlm. 428
[2] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 39
[3] Munir
Fuady, Hukum Dagang Internasional,
Aspek Hukum Dari WTO, cetakan pertama (Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti,
2004), hlm. 69
[4] Syahmin,
Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan
pertama, (Bandung:PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 47
[5] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 44, dikutif dari Mahmul Siregar, Perdagangan
Internasional dan Penanaman Modal, Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatra Utara, 2005, hlm 67-68.
[6] http://financial-dictionary.thefreedictionary.com/Tariff+Binding,
akses 7 Oktober 2011
[7]
Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah
kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak tersebut khususnya atas barang
yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu kewilayah yang lain atau
tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut. Jelasnya tarif hanya
dikenakan pada barang yang melintasi wilayah suatu Negara, karena itu tarif
berbeda dengan pajak atas barang yang ada dalam negeri. Lihat Mohammad Sood, Hukum Perdagangan
Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 49
[8] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 44
[9] Nandang
Sutrisno, Pengantar WTO, Makalah disampaikan pada kuliah Hukum
Perdagangan Internasional di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, hlm 20
[10] Hatta,
Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan
Non-Hukum, cetakan pertama, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hlm. 103
[11] Nandang
Sutrisno, Pengantar WTO, Makalah disampaikan pada kuliah Hukum
Perdagangan Internasional di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, hlm 20
[12]
Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri
Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[13]
Barang terselidik adalah barang yang impornya mengalami lonjakan sehingga
mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius industri dalam
negeri.
[14]
Proteksi adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antar negara.
Adapun caranya, antara lain, adalah pemberlakuan tarif tinggi pada barang
impor, pembatasan kuota, dan berbagai upaya menekan impor.
[15] Peter
Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation),
cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 53
[16] Peter
Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation),
cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 55
[17] Peter
Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation),
cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 69
[18]
Lihat pasal 2 Agrement on Safeguards dan Pasal XIX GATT 1994.
[19] Peter
Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation),
cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 79
[20] Ibid,
hlm. 80
[21]
Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri
Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar