Kamis, 10 Mei 2012


PRINSIP DAN PENGECUALIAN DALAM WORD TRADE ORGANISATION (WTO)


A.    Prinsip-prinsip Dasar Word Trade Organisation (WTO)
Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir.[1] Adapun prinsip-prinsip hukum atau yang disebut dengan asas-asas hukum merupakan dasar pembentukan hukum yang secara filosofis yang mempunyai atau memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum.
Dalam perdagangan internasional, secara garis besar prinsip-prinsip hukum menghendaki adanya perlakuan yang sama atas setiap produk, baik terhadap produk impor ataupun produk domestik. Tujuan adanya penerapan prinsip tersebut adalah untuk terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.[2]
Dalam pemaparan ini penulis membagi prinsip-prinsip dagang tersebut menjadi dua klasifikasi, yaitu pengaturan mengenai non-diskriminasi serta pengaturan mengenai dispensasi dalam aturan main GATT/WTO.
1.      Pengaturan Mengenai Non-Diskriminasi
a.       Most Favored Nation
Most Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan.[3]
b.      National Treatment
Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.[4]
Menurut Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:
1)      Adanya kepentingan lebih dari satu Negara
2)      Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.
3)      Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara lain yang berada di wilayahnya.
4)      Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan kerugian bagi Negara lain.[5]
c.       Tarif Binding atau Tarif Mengikat
Tarif Binding adalah sebuah janji oleh suatu negara untuk tidak menaikkan tarif untuk masa mendatang.[6] Tarif Binding dianggap menguntungkan bagi perdagangan internasional karena memberikan potensi eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.[7]
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1)      Tarif sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2)      Tarif yang dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara pengekspor.
3)      Tarif untuk memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.[8]
d.      Persaingan yang Adil
Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil dan fair competition. Dengan demikian subsidi terhadap ekpor dan dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor negara pengimpor diberikan hak untuk mengenakan anti dumping duties dan counter vailing duties sebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.
e.       Larangan Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restruksi yang bersifat kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang serupa ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling sering diterima sebagai warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2.      Pengaturan Mengenai Dispensasi
a.       Prinsip proteksi melalui tarif
Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18).[9] Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.[10]
b.      Prinsip waiver dan pembatasan darurat terhadap impor
Prinsif waiver dan pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948 (Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika sebagai akibat perkembangan yang tak terduga dan sebagai dampak dari kewajiban negara peserta menurut perjanjian ini (GATT), suatu produk diimpor ke wilayah suatu negara peserta dalam jumlah yang semakin besar atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga menimbulakan atau mengancam untuk menimbulkan kerugian yang serius terhadap para produsen produk serupa atau produk yang kompetitif dalam negara diwilayah tersebut, maka dalam kaitannya dengan produk tersebut negara peserta bebas untuk menangguhkan kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan menarik kembali atau memodifikasi konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan darurat terhadap impor produk tertentu yang terdapat dalam Pasal 19 GATT 1948, adalah sebuah tindakan yang memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri.[11] Berdasarkan penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam sebuah tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara anarkis tanpa terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1)      Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Jelasnya pemerintah memiliki fungsi sebagai alat kontrol dalam mengatur perdagangan dalam dan luar negerinya dengan membuat sebuah kebijakan. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat  kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2)      Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar.[12]
Dari kacamata ekonomi, kerugian tersebut bisa berupa kerugian langsung seperti matinya pasar-pasar domestik, matinya industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima secara tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3)      Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4)      Terdapat barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.[13]
5)      Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.[14]

B.     Pengecualian-pengecualian Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Hukum WTO menyediakan peraturan-peraturan untuk menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Peraturan-peraturan ini ada dalam wujud pengecualian yang sangat luas terhadap disiplin dasar  dari WTO.
Pengecualian-pengecualian ini memperbolehkan anggota WTO dalam situasi tertentu untuk mengadopsi dan mempertahankan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan guna melindungi nilai-nilai dan kepentingan sosial lainya yang sangat penting, meskipun peraturan atau tindakan tersebut bertentangan dengan disiplin subtansif yang terkandung dalam GATT 1994.[15]

Adapun pengecualian tersebut dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis diantaranya, yaitu:
1.      Pengecualian Dalam Pasal 20 GATT 1994
Pengecualian yang paling penting dalam menjembatani liberalisasi perdagangan dengan nilai-nilai dan kepentingan sosial lainnya adalah pengecualian umum yang tercantum dalam Pasal 20 GATT 1994. Dalam menentukan apakan suatu tindakan yang seharusnya tidak konsisten dengan peraturan yang ada di GATT dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 20 GATT 1994, haruslah selalu dievaluasi:
a.       Apakah tindakan tersebut sementara dan dibenarkan menurut salah satu pengecualian yang secara spesifik disebutkan dalam ayat (a) sampai (j) dalam Pasal 20 GATT 1994.
b.      Apakah dalam aplikasinya tindakan tersebut telah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam kalimat pembukaan dalam pasal tersebut.
Pasal 20 GATT 1994 dalam ayat (a) sampai dengan (j) memberikan dasar pembenaran yang jumlahnya terbatas dimana setiap dasar pembenar memiliki aplikasi persyaratan yang berbeda-beda. Pasal 20 GATT 1994 dapat dijadikan dasar pembenaran terhadap tindakan-tindakan proteksi yang dipergunakan untuk:
a.       Perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 20 (a)).
b.      Untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 20 (b)).
c.       Untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan aturan GATT (Pasal 20 (d)).
d.      Serta yang berhubungan dengan sumber daya alam yang habis terpakai (Pasal 20 (g)).[16]
2.      Pengecualian Dalam Pasal 14 GATS
Berdasarkan Pasal 14 GATS General Agrement on Trade in Services (Perjanjian mengenai perdagangan dibidang jasa), anggota WTO bisa membenarkan tindakan yang seharusnya tidak sesuai dengan GATS apabila:
a.       Perlindungan moral dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat (Pasal 14 (a)).
b.      Untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, binatang serta tumbuhan (Pasal 14 (b)).
c.       Untuk menjaga kesesuaian dengan peraturan nasional, seperti peraturan kepabeanan atau hak kekayaan intelektual dimana aturan tersebut pada hakekatnya tidak bertentangan dengan aturan GATS (Pasal 14 (c)).
Anggota WTO bisa mendasarkan pada Pasal 14 GATS untuk membenarkan tindakan yang (1) bertentangan dengan Pasal 17 GATS, asalkan perbedaan perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari luar dan dari dalam negeri tersebut ditujukan untuk memastikan pengenaan dan pemungutan pajak langsung yang adil dan efektif (2) bertentangan dengan Pasal 2 GATS, karena perlakuan antara jasa dan penyedia jasa dari berbagai Negara disebabkan dari perjanjian internasional untuk mencegah pengenaan pajak berganda.
3.      Pengecualian Dalam Keadaan Ekonomi Darurat
Emergency Protection adalah sebuah tindakan pengamanan terhadap industri domestik ketika terjadi situasi lonjakan impor yang menyebabkan atau adanya ancaman yang akan menyebabkan kerugian yang serius.
Secara umum, tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 dan Pasal 11 GATT 1994. Akan tetapi masih dapat dibenarkan berdasarkan pasal 19 GATT 1994 jika dapat memenuhi segala persyaratan yang terkandung dalam pasal tersebut, tujuan dari suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah untuk memberikan kebebasan kepada industri domestik dan untuk memberikan waktu bagi industry domestik untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi pasar yang baru.[17] 
Sebagaimana diatur dalam pasal XIX GATT 1994, tindakan pengamanan perdagangan hanya dapat diterapkan bila tiga persyaratan telah dipenuhi, yaitu:
a.       Lonjakan Impor.
Persyaratan untuk lonjakan impor haruslah terkini, tiba-tiba, dalam jangka waktu yang relatif singkat, tajam dan signifikan.[18] Terlebih lagi lonjakan impor tersebut harus tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah suatu kondisi dalam kenyataannya merupakansuatu kondisi yang darurat. Jika lonjakan impor telah terjadi beberapa waktu yang lalu atau telah terjadi selama preode yang panjang atau kejadiannya hanya terbatas pada waktu tertentu atau kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa telah ada kondisi darurat sesuai dengan apa yangn telah disyaratkan dalam pasal XIX GATT 1994.
b.      Kerugian yang Serius
Kerugian yang serius terjadi apabila ada kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh industry domestik. Kerugian yang serius merupakan persyaratan yang lebih ketat daripada persyaratan kerugian material yang diterapkan terhadap pengenaan tindakan anti dumping atau tindakan retaliasi. Ini bukanlah suatu yangmengagetkan dikarenakan tindakan pengamanan perdagangan diterapkan pada perdagangan yang fair, sementara tindakan anti-dumping atau retaliasi diterapkan terhadap perdagangan yang tidak fair. Untuk menentukan apakah terdapat ancaman kerugian yang serius, maka hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1)      Nilai dan jumlah dari lonjakan impor dari barang yang dipermasalahkan dilihat secara absolut atau relatif.
2)      Pangsa pasar domestik yang diambil oleh lonjakan impor tersebut
3)      Perubahan tindakan penjualan, produksi, kemampuan untuk berproduksi, kapasitas yang digunakan, keuntungan dan kerugian dan tenaga kerja. 
c.       Hubungan Kausal
Persyaratan ketiga merupakan persyaratan subtantif terakhir dalam suatu tindakan pengamanan perdagangan adalah persyaratan adanya ’hubungan kausal’. Ada dua tes yang harus dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan kausal tersebut, yaitu:
1)      Pembuktian adanya hubungan kausal antara lonjakan impor dengan kerugian yang serius atau ancaman untuk itu.
2)      Identifikasi kerugian yang ditimbulakn akibat faktor-faktor lain selain faktor lonjakan impor dan tidak menyebabkan kerugian ini terhadap impor yang dipermasalahkan.
4.      Pengecualian Untuk Pembangunan Ekonomi
Pengecualian terakahir yang diberikan oleh WTO adalah pengecualian pembangunan ekonomi untuk membantu Negara berkembang. Hampir semua perjanjian di WTO mengatur mengenai perlakuan yang khusus dan berbeda (Special and Differential Treatment) untuk anggota Negara berkembang guna memfasilitasi mereka agar dapat masuk ke dalam sistem perdagangan dunia untuk mendorong pembangunan ekonomi mereka. Ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam enam kategori:
a.       Ketentuan yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan anggota dari Negara berkembang.[19]
b.      Ketentuan untuk anggota WTO yang seyogyanya harus melindungi kepentingan Negara berkembang.
c.       Flexibelitas dari komitmen dalam bentuk tindakan dan penggunaan instrument kebijakan.
d.      Jangka waktu transisi
e.       Bantuan teknis
f.       Ketentuan yang berkaitan dengan anggota Negara terbelakang.
Anggota Negara berkembang punya hak untuk mengenakan bea masuk yang lebih tinggi dari batas tarif yang disepakati sementara waktu guna memajukan pembentukan industri baru. Terlebih lagi anggota Negara berkembang bisa mengenakan tindakan pengamanan perdagangan dengan jangka waktu maksimum yang lebih dari delapan tahun dan beberapa Negara berkembang sudah dikecualikan dalam larangan memberikan subsidi yang berkaitan dengan ekspor.
Dengan adanya pengecualian tersebut, maka GATT sebagai organisasi perdagangan dunia yang menjunjung liberalisasi ekonomi juga memperbolehkan Negara maju untuk memberikan perlakuan tarif yang lebih menguntungkan bagi produk impor yang berasal dari Negara berkembang. Pengecualian tersebut memperbolehkan anggota untuk bertindak menyimpang dari kewajiban dasar perlakuan MFN dalam GATT 1994 dalam rangka memajukan perekonomian Negara berkembang.[20]
Berdasarkan semua penjelasan di atas, apabila ditinjau dari segi hirarki yang dimulai dari prinsip sampai pada beberapa pengaturan pengecualian, maka dapat diketahui semua dispensasi tersebut memang terpisah secara fungsional, tetapi apabila menengok kembali pada defenisi safeguard dalam Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 yang berbunyi:

“Tindakan Pengamanan adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural”.[21]

Definisi di atas mengandung dua  point penting yang menjadi dasar suatu tindakan dapat dikatakan sebagai safeguard, yaitu berupa tindakan pengamanan yang diambil pemerintah serta tindakan tersebut berfungsi untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri. Dengan melihat point tersebut lalu dikomparasikan dengan beberapa prinsip dan peraturan pengecualian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa semua tindakan dispensasi baik yang berupa anti-dumping, countervaling dutis, prinsip proteksi melalui tarif sampai pada beberapa pengaturan pengecualian dapat digolongkan menjadi safeguard meskipun secara fungsional berbeda dalam pengaturan WTO akan tetapi dalam hal tujuan sudah dapat memenuhi kreteria safeguard itu sendiri.
Untuk mempermudah pemahaman tentang bentuk-bentuk safeguards yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), maka hal tersebut dapat disistematisasikan sebagai berikut:













Striped Right Arrow: KLASIFIKASI



Rounded Rectangle: Untuk Pembangunan Ekonomi
 




















Tabel. 1 Sistematika Safeguards
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa GATT/WTO selain berpegang teguh pada komitmennya dalam liberalisasi perdagangan, tetapi disisi lain GATT/WTO juga mempunyai pertimbangan dalam mengimplementasikan semua prinsip-prinsip yang menjadi dasar aturan dagangnya kepada Negara-negara berkembang dan Negara terkebelakang. Proteksi melalui tariff, prinsif waiver dan pembatasan darurat terhadap impor merupakan beberapa perwujudan dari dispensasi yang diberikan GATT/WTO untuk Negara-negara yang belum siap bersaing dalam perdagangan bebas.
Jelasnya Word Trade Organisation (WTO) sebagai organisasi perdagangan dunia yang menjunjung liberalisasi ekonomi juga mempunyai aturan yang jelas tentang proteksi yang legal menurut aturan dan proteksi ilegal dalam perdagangan internasional.
Dengan demikian untuk sementara anggapan yang menyebutkan bahwa Word Trade Organisation (WTO)  merupakan sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa sudah bisa terbantahkan, karena berdasarkan pemaparan yang ada di atas menegaskan bahwa Word Trade Organisation (WTO) membuka kesempatan bagi seluruh Negara anggota untuk mendapatkan hak dan keadilan yang sama. Semuanya mempunyai hak untuk melindungi industri dalam negerinya apabila itu memang dibutuhkan dan semua anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh keadilan apabila terjadi sengketa antara sesama Negara anggota.



[1] Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Media Center,tt), hlm. 428
[2] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 39
[3] Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO, cetakan pertama (Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2004),  hlm. 69
[4] Syahmin, Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, (Bandung:PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 47
[5] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 44, dikutif dari Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, 2005, hlm 67-68.
[7] Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diangkut dari sebuah kekuasaan politik ke suatu wilayah lain. Pajak tersebut khususnya atas barang yang diimpor dari wilayah kekuasaan politik yang satu kewilayah yang lain atau tingkat pajak yang dikenakan atas barang tersebut. Jelasnya tarif hanya dikenakan pada barang yang melintasi wilayah suatu Negara, karena itu tarif berbeda dengan pajak atas barang yang ada dalam negeri. Lihat  Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 49
[8] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 44
[9] Nandang Sutrisno, Pengantar WTO, Makalah disampaikan pada kuliah Hukum Perdagangan Internasional di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm 20
[10] Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan Non-Hukum, cetakan pertama, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hlm. 103
[11] Nandang Sutrisno, Pengantar WTO, Makalah disampaikan pada kuliah Hukum Perdagangan Internasional di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hlm 20
[12] Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[13] Barang terselidik adalah barang yang impornya mengalami lonjakan sehingga mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius industri dalam negeri.
[14] Proteksi adalah kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antar negara. Adapun caranya, antara lain, adalah pemberlakuan tarif tinggi pada barang impor, pembatasan kuota, dan berbagai upaya menekan impor.
[15] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 53
[16] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 55
[17] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 69
[18] Lihat pasal 2 Agrement on Safeguards dan Pasal XIX GATT 1994.
[19] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 79
[20] Ibid, hlm. 80
[21] Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar