Kamis, 10 Mei 2012


KETERLIBATAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM WORD TRADE ORGANISATION (WTO)


A.    Kepentingan yang Menjadi Landasan Kebijaksanaan Indonesia Terlibat Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Banyak pendapat yang mampu menjelaskan alasan partisipasi Indonesia dalam Word Trade Organisation (WTO). Salah satunya seperti pendapat Kartadjumena dalam bukunya GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, bahwa keterlibatan Indonesia dalam Uruguay Round berlandaskan pangkal tolak yang fundamental dan bukan semata-mata sebagai tindakan untuk mengikuti mode yang berkembang di masyarakat Internasional. Program pembangunan yang telah diterapkan sejak Repelita I berpijak kepada serangkaian kebijaksanaan yang tujuannya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi secara agregat setinggi mungkin, tanpa menimbulkan gejolak inflasi yang tak terkendali seraya memeratakan hasil yang tercapai kepada sebanyak mungkin warga Negara Indonesia.[1]
Sedangkan pendapat Yusuf Shofie dalam bukunya Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, menyatakan bahwa sikap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meratifikasi keputusan-keputusan dari Word Trade Organisation (WTO) merupakan langkah bijaksana, karena latar belakang sikap tersebut dilandasi kebijakan pembangunan nasional yang memberi prioritas utama pada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.[2]
Apabila dicermati lebih lanjut, kedua pendapat di atas memberikan gambaran bahwa pemerintah telah melakukan pertimbangan yang matang saat memutuskan terlibat dalam perdagangan bebas. Dengan motif untuk meningkatkan pendapatan ekonomi ataupun dengan motif pemerataan pembangunan, seharusnya semuanya dapat memberikan jaminan kesejahteraan yang merata bagi rakyat khususnya bagi para pelaku usaha lokal.
Terdapat beberapa landasan yang menjadi pertimbangan pemerintah terlibat dalam Word Trade Organisation (WTO), khususnya terkait bidang-bidang yang cukup subtansi untuk menjadi perhatian Indonesia. Secara eksplesit landasan-landasan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
1.      Pertumbuhan ekonomi sebagai landasan strategi
Dengan tingkat pendapatan yang rendah maka apapun tujuan pembangunan yang dikehendaki tidak akan mudah tercapai. Karena itu laju pertumbuhan ekonomi merupakan kunci untuk membuka pintu guna memasuki jalur pembangunan yang mencakup keseluruhan kegiatan masyarakat kearah tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, penigkatan taraf dan laju pendapatan merupakan syarat mutlak untuk memungkinkan tercapainya upaya-upaya lainnya, sehingga upaya pembangunan yang sifatnya lebih luas lagi secara realitis dapat tercapai apabila pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dapat dicapai.
Berkaitan dengan pertimbangan di atas, maka dalam merumuskan upaya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi sebagai komponen kunci dari program pembangunan yang lebih luas lagi, diperlukan suatu keputusan yang mantap dengan strategi yang dapat dilihat secara nyata serta dapat diimplementasikan dalam program operasional yang kongkrit. Dalam konteks ini dapat diartikan sebagai program jangka panjang untuk mencapai laju pertumbuhan yang dapat berjalan secara berkesinambungan pada tingkat yang setinggi mungkin serta menitikberatkan terjadinya pemerataan yang seluas mungkin. Jelasnya tujuan utama dalam kebijakan tersebut adalah rumusan kebijaksanaan yang secara operasional memungkinkan laju pertumbuhan yang berkelanjutan dengan menerapkan pola-pola pemerataan.[3]



2.      Keseimbangan dalam kebijaksanaan
Selama periode Repelita I hingga Revelita VI kebijaksanaan pemerintah secara harian mencoba melakukan keseimbangan yang selalu diperlukan karena objektif-objektif tersebut harus selalu dijaga keseimbangannya dan keputusan mengenai bagaimana keseimbangan itu dapat dicapai adalah dengan keputusan politik yang secara individu masing-masing pihak dapat memperdebatkannya. secara operasional lepas dari setuju dan tidaknya keputusan yang diambil secara spesipik, setelah keputusan politik diambil oleh pemerintah, maka yang berlaku dilapangan adalah keputusan tersebut.[4]
3.      Bantuan luar negeri, penanaman modal asing dan ekspor.
Laju pertumbuhan yang berkelanjutan tersebut memerlukan arus modal dari luar dalam bentuk bantuan pinjaman dari luar negeri maupun arus modal asing karena tingkat tabungan dalam negeri tidak dapat membiayai kegiatan apabila yang ingin dituju adalah laju pertumbuhan yang tinggi. Karena itu sejak awal program pembangunan, komponen eksteren yang telah memegang peranan kunci. Pembiayaan komponen eksteren terbantu oleh adanya migas yang pada tahun 1970-an mengalami perbaikan harga sehingga pendapatan devisa dari minyak banyak membantu.
Untuk mencapai tujuan keberhasilan, ada asumsi yang harus dijaga, yaitu bahwa perekonomian dunia akan tetap terbuka dan dapat merumuskan strategi pembangunan melalui peningkatan ekspor dan impor yang dapat dijamin dengan adanya keterbukaan perekonomian dunia.[5]
Dengan melihat tiga landasan yang menjadi pertimbangan pemerintah seperti yang telah dijelaskan di atas, maka jelas terlihat bahwa pemerintah dalam upaya meningkatkan tarap hidup kesejahteraan masyarakat menjadikan ekspor dan impor sebagai sebuah sarana dan rencana pembangunan perekonomian jangka panjang. Hal tersebut menarik, karena disatu sisi dengan adanya upaya liberalisasi ekonomi, pemerintah berupaya mengangkat perekonomian Indonesia di mata dunia dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan ekonomi setinggi mungkin, akan tetapi disisi lain dengan adanya Kepres Nomor 84 Tahun 2002 dan aturan-aturan serupa lainya seakan menjadikan imej baru, bahwa pemerintah menganut sistem ekonomi yang protektif terhadap industri-industri luar yang ingin masuk dan bersaing di Indonesia melalui impor barang domestiknya.
Realisasi sistem ekonomi protektif tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Tim Penanggulangan Perdagangan Bebas (TPPB). Tim tersebut dibentuk guna antisipasi dampak negatif bagi pengusaha lokal terhadap lonjakan barang impor yang dapat menimbulkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri domestik serta sebagai upaya pencegahan masuknya barang-barang gelap ke Indonesia
Tugas lain dari tim ini adalah penguatan ekspor dengan mengintroduksi produk-produk inovatif. Kemudian, melakukan pengamanan pasar domestik berdasarkan hak yang dimiliki berdasarkan World Trade Organization (WTO). Ada banyak hak yang telah dijaminkan di dalam artikel atau pasal WTO yang belum dimanfaatkan Indonesia, di antaranya terkait Artikel III WTO yang mengatur mengenai pajak. Dalam artikel ini, tidak diperkenankan terjadinya diskriminasi pajak. Namun pemerintah sendiri sering kali memberikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor saja sedangkan PPN dalam negerinya tidak.
Ada beberapa kendala yang memicu hal tersebut. Seperti, daya saing masih rendah karena tingkat produktivitas dan penguasaan pendidikan latihan yang rendah. Ketiadaannya produk unggulan sehingga menyebabkan akses pemasaran menjadi sulit akibat pasar di Indonesia mudah diintervensi oleh negara lain.[6]

B.     Pertumbuhan Perekonomian Indonesia Pasca Ratifikasi UU No.7 Tahun 1994 Dalam KurunWaktu 2010-2011
Perekonomian Indonesia pada Triwulan I-2011 bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 1,5 persen. Peningkatan tersebut terjadi pada Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (18,1 persen) dan Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan (2,7 persen). Sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah Sektor Konstruksi (minus 3,6 persen), Sektor Pertambangan dan Penggalian (minus 2,0 persen), Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (minus 1,9 persen), Sektor Industri Pengolahan (minus 1,2 persen), Sektor Jasa-jasa (minus 0,4 persen), Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (minus 0,2 persen), dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (minus 0,1 persen). Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan pada Triwulan I-2011 meningkat tajam 18,1 persen terhadap Triwulan IV-2010, sebagai refleksi dari mulai adanya musim panen tanaman padi, dengan kenaikan Subsektor Tanaman Bahan Makanan sebesar 53,6 persen.[7]
 Subsektor Pertanian lainnya mengalami penurunan masing-masing sebesar minus 19,9 persen untuk Subsektor Tanaman Perkebunan, minus 17,7 persen untuk Subsektor Kehutanan, minus 3,0 persen Subsektor Peternakan dan Hasilhasilnya dan minus 1,3 persen untuk Subsektor Perikanan. Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 2,7 persen. Peningkatan di Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan tersebut terutama ditunjang oleh Subsektor Bank yang tumbuh sebesar 4,6 persen.[8]
Tabel 2
Laju Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha

No
Lapangan Usaha
Triwulan I-2011
Terhadap
Triwulan IV-2010

Triwulan I-2011
Terhadap
Triwulan I-2010

Sumber
Pertumbuhan
Triwulan I-2011



1
2
3
1
 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan
18,1
3,4
0,5
2
 Pertambangan dan Penggalian
-2,0
4,6
0,4
3
 Industri Pengolahan
-1,2
5,0
1,3
4
Listrik, Gas, dan Air Bersih
-1,9
4,2
0,0
5
Konstruksi
-3,6
5,3
0,3
6
 Perdagangan, Hotel, dan Restoran
-0,2
7,9
1,3
7
Pengangkutan dan Komunikasi
-0,1
13,8
1,3
8
Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan
2,7
7,3
0,7
9
Jasa-jasa
-0,4
7,0
0,7

PDB
1,5
6,5
6,5

PDB TANPA MIGAS
1,7
6,9


Produk Domestik Bruto (PDB) Triwulan I bila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya mencerminkan pertumbuhan PDB selama satu tahun pada Triwulan I. PDB triwulan I-2011 dibandingkan dengan Triwulan I-2010 meningkat sebesar 6,5 persen, terjadi pada semua sektor. Peringkat terbesar adalah Sektor Pengangkutan dan Komunikasi meningkat sebesar 13,8 persen, diikuti Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7,9 persen, Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 7,3 persen, Sektor Jasa 7,0 persen, Sektor Industri Pengolahan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,6 persen, Sektor Konstruksi 5,3 persen, Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 4,2 persen, dan Sektor Pertanian,
Berita Resmi Statistik No. 31/05/Th. XIV, 5 Mei 24 011 Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 3,4 persen. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh sebesar 7,9 persen merupakan sektor yang memberikan sumber pertumbuhan terbesar pada perekonomian Indonesia Triwulan I-2011 yaitu sebesar 1,3 persen. PDB Tanpa Migas secara berantai Triwulan I-2011 dibandingkan Triwulan IV-2010 tumbuh sebesar 1,7 persen. Sementara bila Triwulan I-2011 dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya tumbuh sebesar 6,9 persen.[9]
Dalam rata-rata upah riil per bulan buruh industri di Indonesia untuk Bulan Desember tahun 2009 sebesar 250.394 sedangkan untuk Desember tahun 2010 sebesar 276.824 dan ditutup dengan upah riil buruh pada bulan Maret 2011 sebesar 266.116.[10] (Lihat lampiran.2) Adapun  persentasi dalam jumlah pengangguran yang ada di Indonesia dalam kurun waktu 2009 dan 2010 yang dimulai dari bulan Februari 2009 total keseluruhan adalah 9,258,964 juta jiwa, Agustus 2009 total keseluruhan adalah 8 962 617 juta jiwa. Sedangkan untuk tahun 2010 yang dimulai dari bulan Februari total keseluruhan sebesar 8 592 490 juta jiwa dan pada bulan Agustus 2010 total keseluruhan sebesar 8,319,779 juta jiwa.[11](Lihat lampran.3)
Dalam hal persentasi jumlah penduduk miskin dalam kurun waktu 2009 sampai 2010, LIPI memperkirakan angka kemiskinan tahun 2009 pada level 43 juta jiwa atau 22% sementara pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) mengestimasi jumlah penduduk miskin untuk tingkat perkotaan sebesar 31023.4 juta jiwa dengan persentasi 13.33 % dari total populasi Indonesia. (Lihat lampiran.4).[12]
Secara eksplisit data-data tersebut tidak menujukan dampak langsung dari keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas, akan tetapi dangan adanya perdagangan bebas secara tidak langusung memeberikan kontribusi terhadap perubahan total keseluruhan angka-angka di atas, jelasnya keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas juga ikut menentukan pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam segala aspek.
Dalam beberapa aspek internal peningkatan dalam perekonomian Indonesia merupakan sebuah nilai lebih, tetapi apabila melihat kepada aspek eksternal khususnya pada aspek perdagangan multilateral, banyak kasus yang dapat menjelaskan betapa timpangnya antara peningkatan perekonomian tersebut dengan fakta tentang industri domestik yang menjadi bulan-bulanan produk impor. Berikut adalah kasus-kasus yang dapat menggambarkan dampak dari keberadaan perdagangan bebas yang ada di Indonesia, diantaranya adalah:
1.      Lonjakan impor produk kawat dan paku dari Cina
Peraturan tata niaga impor besi dan baja yang diterbitkan Menteri Perdagangan melalui Permendag No.21/M-DAG/PER/6/2009 Tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja pada 11 Juni lalu, dianggap belum efektif dalam membendung impor baja khususnya untuk produk kawat dan paku. Sedikitnya 2 ribu ton paku dan kawat impor melengang masuk melalui pelabuhan di Surabaya dan Semarang sepanjang Mei dan Juni 2009.
Masuknya produk kawat dan paku asal negeri tirai bambu itu membuat produsen lokal sulit untuk bersaing dalam menjual produknya. Soalnya, harga jual paku impor lebih murah dibandingkan harga paku lokal. saat ini harga jual paku impor sekitar Rp 7.200 per kilogram (kg), sedangkan harga paku lokal dijual dengan harga Rp7.900-Rp8.000 per kg.
Kondisi tersebut dikarenakan produsen kawat dan paku dari Cina mendapatkan subsidi dari pemerintah Cina berupa pengembalian pajak sebesar 11 persen. Ditambah lagi para importir paku yang melakukan praktek under in voicing atau menyelundupkan kawat dan paku dengan sistem borongan atau menggunakan nomor harmonized system (HS) yang tidak bayar bea masuk. 
Menurut data Departemen Perindustrian (Deperin), jumlah importir yang sudah mengajukan Rencana Impor Barang (RIB) mencapai 800 perusahaan. Sedangkan yang sudah mendapatkan izin sekitar 250 hingga 300 perusahaan. Per Maret 2009, RIB yang sudah disetujui Deprin mencapai 29.500 ton. "Impor itu bisa masuk setelah pilpres. Jumlah ini diyakini akan terus bertambah karena masih ada importir yang masih dalam proses mengajukan izin. Bahkan, terdapat dua perusahaan yang telah diberikan izin impor sebanyak masing-masing 10 ribu ton impor paku.[13]
2.      Lonjakan Barang Dumping Masuk ke Indonesia
Diberitakan bahwa pemerintah menyatakan praktek dumping impor ke Indonesia melonjak tajam. Hal tersebut ditunjukan oleh penanganan 15 kasus dumping yang ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Peningkatan pengawasan dan pengenaan safeguard terhadap produk yang terkena injury itu guna memberikan affirmatif (keberpihakan) kepada produk  industri nasional. Terlebih sejumlah pengusaha Kadin dan DPR RI mengusulkan agar 228 pos tarif pasar bebas Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlaku sejak 1 Januari 2010 perlu direnegosiasikan karena dianggap tidak mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara lainnya.
Barang-barang yang diselidiki yang diduga dumping diantaranya, lebaran baja panas gulung (hot rolled plate) dari Malaysia, RRT, dan Taiwan, lebaran baja panas gulung (hot rolled coil) dari Malaysia dan Korea Selatan, serta serat benang (polyester staple fiber/PSF) dari India, RRT dan Taiwan.
Selain itu, penyelidikan juga dilakukan terhadap produk I dan H Section atau barang jenis baja dari RRTN dan kertas cetak tak berlapis (uncoanted writing paper) dari Finlandia, Republik Korea, India dan Malaysia. Peningkatan pengawasan terhadap produk dumping tersebut disebabkan oleh meningkatnya kesadaran industri atau produsen dalam negeri untuk menggunakan haknya meminta perlindungan pemerintah dari praktek dagang tidak sehat termasuk dumping karena telah mengakibatkan kerugian bagi banyak pihak.[14]
3.      Lonjakan impor sayuran dan buah-buahan dari Cina
Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Kolam Susu, Koes Ploes). Menyimak lagu 'Kolam Susu' Koes Ploes, sangat memprihatinkan melihat Indonesia sudah sangat tergantung pada produk impor.  Produk impor tidak hanya dipajang di Mal tapi juga sudah menyerbu pasar tradisional. Cabai, bawang, wortel, buncis, jamur, kentang, dan kacang polong impor kini dengan mudah bisa kita temukan di pasar tradisional kita.
Saat ini sayuran impor mulai menjadi primadona di masyarakat lantaran harganya lebih murah dibanding sayuran lokal. Hal inilah yang membuat sayur mayur lokal banyak yang tidak laku.
Sekjen Pedagang Pasar Tradisonal (PPT) Ngadiran mengatakan, banjir sayuran impor di pasar tradisional terjadi sejak 3 tahun lalu. Pedagang lebih senang menjual sayur impor karena harga yang murah sehingga untung besar. Saat ini, misalnya, harga cabai impor dan lokal selisihnya sangat tipis. Cabai lokal Rp 14 ribu per kg. Sementara cabai impor Rp 12 ribu per kg. Harga yang jauh lebih murah ini tentu saja mempengaruhi pembeli. “Sebab selisih Rp 1.000 saja para pembeli bisa beralih," ujar Ngadiran. Meski demikian, sebenarnya, rasa sayur-mayur lokal jauh lebih enak dibandingkan yang impor. Cabai lokal pedas dan menggigit. Sementara cabai Thailand sedikit pahit dan kurang pedas. Bawang merah impor kurang wangi dibanding bawang merah lokal. Tapi, meski berbeda rasa, dengan harga yang lebih murah dikhawatirkan pelan-pelan pembeli sayur-mayur di Indonesia bisa beralih ke sayur-mayur impor. "Kalau dicekoki terus lama-lama masyarakat ketagihan sayur impor. Dan petani sayur kita bakal menjerit," katanya.
Menurut Ketua Umum DTI Ferry Juliantono, 15 produk pertanian dan kelautan yang diimpor antara lain, garam, beras, jagung, kedelai, gandum, gula pasir, daging, singkong, serta bawang merah. Nilai impor produk pertanian itu mencapai US$ 5,36 miliar atau sekitar Rp 45 triliun. " Kementerian Perdagangan dinilai hanya berpandangan parsial yaitu pada sisi suplai dan kebutuhan saja. Tapi tidak berpandangan komprehensif dan integratif dengan sektor yang lain.
Pemerintah semestinya terlebih dahulu melakukan perlindungan terhadap para petani di dalam negeri. Dengan memberikan dukungan permodalan, pendampingan manajerial, pengelolaan pertanian, dan yang paling penting untuk menarik minat para petani adalah kepastian harga dan jaminan pembelian dari pemerintah atas hasil produksi pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu antara Januari sampai dengan Februari 2011, jumlah impor cabai segar mencapai 2.796 ton dengan nilai 2,49 juta dollar AS. Dibandingkan dengan laju impor tahun lalu, jumlahnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 lalu, impor cabai hanya sebanyak 1.852 ton senilai 1,45 juta dollar AS. Akibat derasnya arus impor, harga cabai lokal pun menukik tajam.
Selain cabai, impor sayur-mayur lainnya juga melonjak tajam, yakni pada Januari-Februari senilai 82. 641.159 juta dollar AS. Padahal pada periode yang sama tahun 2010, nilai impor sayur-mayur asal China “hanya” 56.607.726 juta dollar AS. Jadi saat ini mengalami peningkatan impor sebesar 45,99 persen. Bukan hanya sayuran, ikan juga ternyata banyak yang impor. Sekalipun negara Indonesia luas perairannya 70%, jumlah ikan impor dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Bila pada tahun 2007, hanya berkisar pada jumlah 145,2 ribu ton. Pada pada 2010 sudah meningkat menjadi 318,8 ribu ton. Jumlah ini tidak termasuk impor ilegal. Impor buah angkanya juga tidak kalah banyaknya. Data BPS, Januari-Februari 2011 saja nilai impor buah yang masuk mencapai US$ 128,7 juta. Jumlah tersebut naik sebesar 63,87 persen dibandingkan pada periode yang sama yakni hanya sebesar US$ 78, 6 juta. Impor buah lebih banyak didominasi jeruk dan apel dari China, Argentina, dan AS.[15]
Berdasarkan pemaparan di atas, komitmen pemerintah untuk mendukung keberadaan berdagangan bebas di satu sisi memang memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian yang ada di Indonesia, akan tetapi disisi lain dengan adanya keterbukaan pasar tersebut juga memberikan ancaman terhadap eksistensi industri domesik dan pasar tradisional yang ada di Indonesia.
Dengan melihat kondisi demikian, maka tidak heran beberapa Negara berkembang termasuk Indonesia mulai memperhatikan dampak dari kebijakan-kebijakan dagang WTO dan mulai berfikir untuk lebih mengembangkan pasar domestik. Selain Indonesia Negara-negara berkembang seperti China, Jepang dan Taiwan memberlakukan pembangunan ekonomi dualistis yaitu liberalisasi perdagangan di satu pihak dan proteksi di lain pihak.[16]


[1] Kartadjumena, GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, cetakan pertama, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 230
[2] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 7
[3] Kartadjumena, GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, cetakan pertama, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 232
[4] Kartadjumena, GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, cetakan pertama, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 234
[5] Ibid, hlm. 235
[7] Badan Pusat Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan1-2011, Berita Resmi Statistik,  No/31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011
[8] Badan Pusat Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan1-2011, Berita Resmi Statistik,  No/31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011
[9] Badan Pusat Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan1-2011, Berita Resmi Statistik, No/31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011
[10] Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, 2010, akses 06 November 2011
[11] Badan Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, 2010, akses 07 Desember 2011
[12] Ibid. Akses 13 Desember 2011
[16]“Kebijakan proteksi kian meresahkan”,http://www.mupeng.com/threads/15275-Kebijakan-Proteksi-Kian-Meresahkan. akses 21 Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar