KETERLIBATAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM WORD TRADE ORGANISATION
(WTO)
A.
Kepentingan yang Menjadi Landasan
Kebijaksanaan Indonesia Terlibat Dalam Word Trade Organisation (WTO)
Banyak pendapat yang mampu menjelaskan
alasan partisipasi Indonesia dalam Word Trade Organisation (WTO). Salah
satunya seperti pendapat Kartadjumena dalam bukunya GATT dan WTO, Sistem
Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, bahwa keterlibatan
Indonesia dalam Uruguay Round berlandaskan pangkal tolak yang fundamental
dan bukan semata-mata sebagai tindakan untuk mengikuti mode yang berkembang di
masyarakat Internasional. Program pembangunan yang telah diterapkan sejak
Repelita I berpijak kepada serangkaian kebijaksanaan yang tujuannya untuk
meningkatkan pendapatan ekonomi secara agregat setinggi mungkin, tanpa
menimbulkan gejolak inflasi yang tak terkendali seraya memeratakan hasil yang
tercapai kepada sebanyak mungkin warga Negara Indonesia.[1]
Sedangkan pendapat Yusuf Shofie dalam
bukunya Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,
menyatakan bahwa sikap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
meratifikasi keputusan-keputusan dari Word Trade Organisation (WTO)
merupakan langkah bijaksana, karena latar belakang sikap tersebut dilandasi
kebijakan pembangunan nasional yang memberi prioritas utama pada pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya.[2]
Apabila dicermati lebih lanjut, kedua
pendapat di atas memberikan gambaran bahwa pemerintah telah melakukan
pertimbangan yang matang saat memutuskan terlibat dalam perdagangan bebas.
Dengan motif untuk meningkatkan pendapatan ekonomi ataupun dengan motif pemerataan
pembangunan, seharusnya semuanya dapat memberikan jaminan kesejahteraan yang
merata bagi rakyat khususnya bagi para pelaku usaha lokal.
Terdapat beberapa landasan yang menjadi
pertimbangan pemerintah terlibat dalam Word Trade Organisation (WTO), khususnya
terkait bidang-bidang yang cukup subtansi untuk menjadi perhatian Indonesia.
Secara eksplesit landasan-landasan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa
macam, yaitu:
1.
Pertumbuhan ekonomi sebagai landasan
strategi
Dengan
tingkat pendapatan yang rendah maka apapun tujuan pembangunan yang dikehendaki
tidak akan mudah tercapai. Karena itu laju pertumbuhan ekonomi merupakan kunci
untuk membuka pintu guna memasuki jalur pembangunan yang mencakup keseluruhan
kegiatan masyarakat kearah tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian,
penigkatan taraf dan laju pendapatan merupakan syarat mutlak untuk memungkinkan
tercapainya upaya-upaya lainnya, sehingga upaya pembangunan yang sifatnya lebih
luas lagi secara realitis dapat tercapai apabila pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi dapat dicapai.
Berkaitan
dengan pertimbangan di atas, maka dalam merumuskan upaya peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi sebagai komponen kunci dari program pembangunan yang lebih
luas lagi, diperlukan suatu keputusan yang mantap dengan strategi yang dapat
dilihat secara nyata serta dapat diimplementasikan dalam program operasional
yang kongkrit. Dalam konteks ini dapat diartikan sebagai program jangka panjang
untuk mencapai laju pertumbuhan yang dapat berjalan secara berkesinambungan
pada tingkat yang setinggi mungkin serta menitikberatkan terjadinya pemerataan
yang seluas mungkin. Jelasnya tujuan utama dalam kebijakan tersebut adalah
rumusan kebijaksanaan yang secara operasional memungkinkan laju pertumbuhan
yang berkelanjutan dengan menerapkan pola-pola pemerataan.[3]
2.
Keseimbangan dalam kebijaksanaan
Selama
periode Repelita I hingga Revelita VI kebijaksanaan pemerintah secara harian
mencoba melakukan keseimbangan yang selalu diperlukan karena objektif-objektif
tersebut harus selalu dijaga keseimbangannya dan keputusan mengenai bagaimana
keseimbangan itu dapat dicapai adalah dengan keputusan politik yang secara
individu masing-masing pihak dapat memperdebatkannya. secara operasional lepas
dari setuju dan tidaknya keputusan yang diambil secara spesipik, setelah
keputusan politik diambil oleh pemerintah, maka yang berlaku dilapangan adalah
keputusan tersebut.[4]
3.
Bantuan luar negeri, penanaman modal
asing dan ekspor.
Laju
pertumbuhan yang berkelanjutan tersebut memerlukan arus modal dari luar dalam
bentuk bantuan pinjaman dari luar negeri maupun arus modal asing karena tingkat
tabungan dalam negeri tidak dapat membiayai kegiatan apabila yang ingin dituju
adalah laju pertumbuhan yang tinggi. Karena itu sejak awal program pembangunan,
komponen eksteren yang telah memegang peranan kunci. Pembiayaan komponen
eksteren terbantu oleh adanya migas yang pada tahun 1970-an mengalami perbaikan
harga sehingga pendapatan devisa dari minyak banyak membantu.
Untuk
mencapai tujuan keberhasilan, ada asumsi yang harus dijaga, yaitu bahwa
perekonomian dunia akan tetap terbuka dan dapat merumuskan strategi pembangunan
melalui peningkatan ekspor dan impor yang dapat dijamin dengan adanya
keterbukaan perekonomian dunia.[5]
Dengan melihat tiga landasan yang
menjadi pertimbangan pemerintah seperti yang telah dijelaskan di atas, maka
jelas terlihat bahwa pemerintah dalam upaya meningkatkan tarap hidup
kesejahteraan masyarakat menjadikan ekspor dan impor sebagai sebuah sarana dan
rencana pembangunan perekonomian jangka panjang. Hal tersebut menarik, karena
disatu sisi dengan adanya upaya liberalisasi ekonomi, pemerintah berupaya
mengangkat perekonomian Indonesia di mata dunia dengan harapan dapat
meningkatkan pendapatan ekonomi setinggi mungkin, akan tetapi disisi lain
dengan adanya Kepres Nomor 84 Tahun 2002 dan aturan-aturan serupa lainya seakan
menjadikan imej baru, bahwa pemerintah menganut sistem ekonomi yang
protektif terhadap industri-industri luar yang ingin masuk dan bersaing di
Indonesia melalui impor barang domestiknya.
Realisasi sistem ekonomi protektif
tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Tim Penanggulangan Perdagangan Bebas
(TPPB). Tim tersebut dibentuk guna antisipasi dampak negatif bagi pengusaha lokal
terhadap lonjakan barang impor yang dapat menimbulkan kerugian atau ancaman
kerugian bagi industri domestik serta sebagai upaya pencegahan masuknya
barang-barang gelap ke Indonesia
Tugas lain dari tim ini adalah penguatan
ekspor dengan mengintroduksi produk-produk inovatif. Kemudian, melakukan
pengamanan pasar domestik berdasarkan hak yang dimiliki berdasarkan World
Trade Organization (WTO). Ada banyak hak yang telah dijaminkan di dalam
artikel atau pasal WTO yang belum dimanfaatkan Indonesia, di antaranya terkait Artikel
III WTO yang mengatur mengenai pajak. Dalam artikel ini, tidak
diperkenankan terjadinya diskriminasi pajak. Namun pemerintah sendiri sering
kali memberikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor saja sedangkan PPN dalam
negerinya tidak.
Ada beberapa kendala yang memicu hal
tersebut. Seperti, daya saing masih rendah karena tingkat produktivitas dan
penguasaan pendidikan latihan yang rendah. Ketiadaannya produk unggulan sehingga
menyebabkan akses pemasaran menjadi sulit akibat pasar di Indonesia mudah
diintervensi oleh negara lain.[6]
B.
Pertumbuhan Perekonomian Indonesia
Pasca Ratifikasi UU No.7 Tahun 1994 Dalam KurunWaktu 2010-2011
Perekonomian Indonesia pada Triwulan
I-2011 bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya mengalami peningkatan
sebesar 1,5 persen. Peningkatan tersebut terjadi pada Sektor Pertanian,
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (18,1 persen) dan Sektor Keuangan, Real
Estat dan Jasa Perusahaan (2,7 persen). Sektor-sektor yang mengalami
penurunan adalah Sektor Konstruksi (minus 3,6 persen), Sektor Pertambangan dan
Penggalian (minus 2,0 persen), Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (minus 1,9
persen), Sektor Industri Pengolahan (minus 1,2 persen), Sektor Jasa-jasa (minus
0,4 persen), Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (minus 0,2 persen), dan
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi (minus 0,1 persen). Sektor Pertanian,
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan pada Triwulan I-2011 meningkat tajam 18,1
persen terhadap Triwulan IV-2010, sebagai refleksi dari mulai adanya musim panen
tanaman padi, dengan kenaikan Subsektor Tanaman Bahan Makanan sebesar 53,6
persen.[7]
Subsektor Pertanian lainnya mengalami
penurunan masing-masing sebesar minus 19,9 persen untuk Subsektor Tanaman
Perkebunan, minus 17,7 persen untuk Subsektor Kehutanan, minus 3,0 persen
Subsektor Peternakan dan Hasilhasilnya dan minus 1,3 persen untuk Subsektor
Perikanan. Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan tumbuh
sebesar 2,7 persen. Peningkatan di Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa
Perusahaan tersebut terutama ditunjang oleh Subsektor Bank yang tumbuh sebesar
4,6 persen.[8]
Tabel
2
Laju
Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha
No
|
Lapangan
Usaha
|
Triwulan
I-2011
Terhadap
Triwulan
IV-2010
|
Triwulan
I-2011
Terhadap
Triwulan
I-2010
|
Sumber
Pertumbuhan
Triwulan
I-2011
|
|
|
1
|
2
|
3
|
1
|
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan
Perikanan
|
18,1
|
3,4
|
0,5
|
2
|
Pertambangan dan Penggalian
|
-2,0
|
4,6
|
0,4
|
3
|
Industri Pengolahan
|
-1,2
|
5,0
|
1,3
|
4
|
Listrik,
Gas, dan Air Bersih
|
-1,9
|
4,2
|
0,0
|
5
|
Konstruksi
|
-3,6
|
5,3
|
0,3
|
6
|
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
|
-0,2
|
7,9
|
1,3
|
7
|
Pengangkutan
dan Komunikasi
|
-0,1
|
13,8
|
1,3
|
8
|
Keuangan,
Real Estat, dan Jasa Perusahaan
|
2,7
|
7,3
|
0,7
|
9
|
Jasa-jasa
|
-0,4
|
7,0
|
0,7
|
|
PDB
|
1,5
|
6,5
|
6,5
|
|
PDB
TANPA MIGAS
|
1,7
|
6,9
|
|
Produk Domestik Bruto (PDB) Triwulan I
bila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya mencerminkan
pertumbuhan PDB selama satu tahun pada Triwulan I. PDB triwulan I-2011
dibandingkan dengan Triwulan I-2010 meningkat sebesar 6,5 persen, terjadi pada
semua sektor. Peringkat terbesar adalah Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
meningkat sebesar 13,8 persen, diikuti Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
7,9 persen, Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 7,3 persen, Sektor
Jasa 7,0 persen, Sektor Industri Pengolahan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan
Penggalian 4,6 persen, Sektor Konstruksi 5,3 persen, Sektor Listrik, Gas dan
Air Bersih 4,2 persen, dan Sektor Pertanian,
Berita Resmi Statistik No. 31/05/Th.
XIV, 5 Mei 24 011 Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 3,4 persen. Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran tumbuh sebesar 7,9 persen merupakan sektor yang
memberikan sumber pertumbuhan terbesar pada perekonomian Indonesia Triwulan
I-2011 yaitu sebesar 1,3 persen. PDB Tanpa Migas secara berantai Triwulan
I-2011 dibandingkan Triwulan IV-2010 tumbuh sebesar 1,7 persen. Sementara bila
Triwulan I-2011 dibanding triwulan yang sama tahun sebelumnya tumbuh sebesar
6,9 persen.[9]
Dalam rata-rata
upah riil per bulan buruh industri di Indonesia untuk Bulan Desember tahun 2009
sebesar 250.394 sedangkan untuk Desember tahun 2010 sebesar 276.824 dan ditutup
dengan upah riil buruh pada bulan Maret 2011 sebesar 266.116.[10]
(Lihat lampiran.2) Adapun persentasi
dalam jumlah pengangguran yang ada di Indonesia dalam kurun waktu 2009 dan 2010
yang dimulai dari bulan Februari 2009 total keseluruhan adalah 9,258,964 juta
jiwa, Agustus 2009 total keseluruhan adalah 8 962 617 juta jiwa. Sedangkan
untuk tahun 2010 yang dimulai dari bulan Februari total keseluruhan sebesar 8
592 490 juta jiwa dan pada bulan Agustus 2010 total keseluruhan sebesar
8,319,779 juta jiwa.[11](Lihat
lampran.3)
Dalam hal
persentasi jumlah penduduk miskin dalam kurun waktu 2009 sampai 2010, LIPI
memperkirakan angka kemiskinan tahun 2009 pada level 43 juta jiwa atau 22%
sementara pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) mengestimasi jumlah
penduduk miskin untuk tingkat perkotaan sebesar 31023.4 juta jiwa dengan
persentasi 13.33 % dari total populasi Indonesia. (Lihat lampiran.4).[12]
Secara eksplisit
data-data tersebut tidak menujukan dampak langsung dari keterlibatan Indonesia
dalam perdagangan bebas, akan tetapi dangan adanya perdagangan bebas secara
tidak langusung memeberikan kontribusi terhadap perubahan total keseluruhan
angka-angka di atas, jelasnya keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas
juga ikut menentukan pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam segala aspek.
Dalam beberapa
aspek internal peningkatan dalam perekonomian Indonesia merupakan sebuah nilai
lebih, tetapi apabila melihat kepada aspek eksternal khususnya pada aspek
perdagangan multilateral, banyak kasus yang dapat menjelaskan betapa timpangnya
antara peningkatan perekonomian tersebut dengan fakta tentang industri domestik
yang menjadi bulan-bulanan produk impor. Berikut adalah kasus-kasus yang dapat
menggambarkan dampak dari keberadaan perdagangan bebas yang ada di Indonesia,
diantaranya adalah:
1.
Lonjakan impor produk
kawat dan paku dari Cina
Peraturan tata niaga impor besi dan baja yang diterbitkan Menteri
Perdagangan melalui Permendag No.21/M-DAG/PER/6/2009 Tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja
pada 11 Juni lalu, dianggap belum efektif dalam membendung impor baja khususnya
untuk produk kawat dan paku. Sedikitnya 2 ribu ton paku dan kawat impor
melengang masuk melalui pelabuhan di Surabaya dan Semarang sepanjang Mei dan
Juni 2009.
Masuknya produk kawat dan paku asal negeri tirai bambu itu
membuat produsen lokal sulit untuk bersaing dalam menjual produknya. Soalnya,
harga jual paku impor lebih murah dibandingkan harga paku lokal. saat ini harga
jual paku impor sekitar Rp 7.200 per kilogram (kg), sedangkan harga paku lokal
dijual dengan harga Rp7.900-Rp8.000 per kg.
Kondisi tersebut dikarenakan produsen kawat dan paku dari Cina mendapatkan
subsidi dari pemerintah Cina berupa pengembalian pajak sebesar 11 persen.
Ditambah lagi para importir paku yang melakukan praktek under in voicing
atau menyelundupkan kawat dan paku dengan sistem borongan atau menggunakan
nomor harmonized system (HS) yang tidak bayar bea masuk.
Menurut data Departemen Perindustrian (Deperin), jumlah importir yang sudah
mengajukan Rencana Impor Barang (RIB) mencapai 800 perusahaan. Sedangkan yang
sudah mendapatkan izin sekitar 250 hingga 300 perusahaan. Per Maret 2009, RIB yang
sudah disetujui Deprin mencapai 29.500 ton. "Impor itu bisa masuk setelah
pilpres. Jumlah ini diyakini akan terus bertambah karena masih ada importir
yang masih dalam proses mengajukan izin. Bahkan, terdapat dua perusahaan yang
telah diberikan izin impor sebanyak masing-masing 10 ribu ton impor paku.[13]
2.
Lonjakan
Barang Dumping Masuk ke Indonesia
Diberitakan
bahwa pemerintah menyatakan praktek dumping impor ke Indonesia melonjak tajam.
Hal tersebut ditunjukan oleh penanganan 15 kasus dumping yang ditangani oleh
Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dan Komite Pengamanan Perdagangan
Indonesia (KPPI) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Peningkatan
pengawasan dan pengenaan safeguard terhadap produk yang terkena injury
itu guna memberikan affirmatif (keberpihakan) kepada produk industri
nasional. Terlebih sejumlah pengusaha Kadin dan DPR RI mengusulkan agar 228 pos
tarif pasar bebas Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) yang berlaku
sejak 1 Januari 2010 perlu direnegosiasikan karena dianggap tidak mampu
bersaing dengan produk sejenis dari negara lainnya.
Barang-barang
yang diselidiki yang diduga dumping diantaranya, lebaran baja panas gulung (hot
rolled plate) dari Malaysia, RRT, dan Taiwan, lebaran baja panas gulung (hot
rolled coil) dari Malaysia dan Korea Selatan, serta serat benang (polyester
staple fiber/PSF) dari India, RRT dan Taiwan.
Selain
itu, penyelidikan juga dilakukan terhadap produk I dan H Section atau barang
jenis baja dari RRTN dan kertas cetak tak berlapis (uncoanted writing paper)
dari Finlandia, Republik Korea, India dan Malaysia. Peningkatan pengawasan terhadap produk dumping tersebut
disebabkan oleh meningkatnya kesadaran industri atau produsen dalam negeri
untuk menggunakan haknya meminta perlindungan pemerintah dari praktek dagang
tidak sehat termasuk dumping karena telah mengakibatkan kerugian bagi banyak
pihak.[14]
3.
Lonjakan impor sayuran dan buah-buahan
dari Cina
Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Kolam Susu,
Koes Ploes). Menyimak lagu 'Kolam Susu' Koes Ploes, sangat memprihatinkan
melihat Indonesia sudah sangat tergantung pada produk impor. Produk impor tidak hanya dipajang di Mal tapi
juga sudah menyerbu pasar tradisional. Cabai, bawang, wortel, buncis, jamur,
kentang, dan kacang polong impor kini dengan mudah bisa kita temukan di pasar tradisional
kita.
Saat ini sayuran impor mulai menjadi primadona di masyarakat lantaran harganya lebih murah dibanding sayuran lokal. Hal inilah yang membuat sayur mayur lokal banyak yang tidak laku.
Saat ini sayuran impor mulai menjadi primadona di masyarakat lantaran harganya lebih murah dibanding sayuran lokal. Hal inilah yang membuat sayur mayur lokal banyak yang tidak laku.
Sekjen
Pedagang Pasar Tradisonal (PPT) Ngadiran mengatakan, banjir sayuran impor di
pasar tradisional terjadi sejak 3 tahun lalu. Pedagang lebih senang menjual
sayur impor karena harga yang murah sehingga untung besar. Saat ini, misalnya,
harga cabai impor dan lokal selisihnya sangat tipis. Cabai lokal Rp 14 ribu per
kg. Sementara cabai impor Rp 12 ribu per kg. Harga yang jauh lebih murah ini
tentu saja mempengaruhi pembeli. “Sebab selisih Rp 1.000 saja para pembeli bisa
beralih," ujar Ngadiran. Meski demikian, sebenarnya, rasa sayur-mayur
lokal jauh lebih enak dibandingkan yang impor. Cabai lokal pedas dan menggigit.
Sementara cabai Thailand sedikit pahit dan kurang pedas. Bawang merah impor
kurang wangi dibanding bawang merah lokal. Tapi, meski berbeda rasa, dengan
harga yang lebih murah dikhawatirkan pelan-pelan pembeli sayur-mayur di
Indonesia bisa beralih ke sayur-mayur impor. "Kalau dicekoki terus
lama-lama masyarakat ketagihan sayur impor. Dan petani sayur kita bakal
menjerit," katanya.
Menurut
Ketua Umum DTI Ferry Juliantono, 15 produk pertanian dan kelautan yang diimpor
antara lain, garam, beras, jagung, kedelai, gandum, gula pasir, daging,
singkong, serta bawang merah. Nilai impor produk pertanian itu mencapai US$
5,36 miliar atau sekitar Rp 45 triliun. " Kementerian Perdagangan dinilai
hanya berpandangan parsial yaitu pada sisi suplai dan kebutuhan saja. Tapi
tidak berpandangan komprehensif dan integratif dengan sektor yang lain.
Pemerintah
semestinya terlebih dahulu melakukan perlindungan terhadap para petani di dalam
negeri. Dengan memberikan dukungan permodalan, pendampingan manajerial, pengelolaan
pertanian, dan yang paling penting untuk menarik minat para petani adalah
kepastian harga dan jaminan pembelian dari pemerintah atas hasil produksi
pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu antara Januari
sampai dengan Februari 2011, jumlah impor cabai segar mencapai 2.796 ton dengan
nilai 2,49 juta dollar AS. Dibandingkan dengan laju impor tahun lalu, jumlahnya
mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 lalu, impor cabai
hanya sebanyak 1.852 ton senilai 1,45 juta dollar AS. Akibat derasnya arus
impor, harga cabai lokal pun menukik tajam.
Selain
cabai, impor sayur-mayur lainnya juga melonjak tajam, yakni pada
Januari-Februari senilai 82. 641.159 juta dollar AS. Padahal pada periode yang
sama tahun 2010, nilai impor sayur-mayur asal China “hanya” 56.607.726 juta
dollar AS. Jadi saat ini mengalami peningkatan impor sebesar 45,99 persen.
Bukan hanya sayuran, ikan juga ternyata banyak yang impor. Sekalipun negara
Indonesia luas perairannya 70%, jumlah ikan impor dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Bila pada tahun 2007, hanya berkisar pada jumlah 145,2 ribu ton.
Pada pada 2010 sudah meningkat menjadi 318,8 ribu ton. Jumlah ini tidak
termasuk impor ilegal. Impor buah angkanya juga tidak kalah banyaknya. Data
BPS, Januari-Februari 2011 saja nilai impor buah yang masuk mencapai US$ 128,7
juta. Jumlah tersebut naik sebesar 63,87 persen dibandingkan pada periode yang
sama yakni hanya sebesar US$ 78, 6 juta. Impor buah lebih banyak didominasi
jeruk dan apel dari China, Argentina, dan AS.[15]
Berdasarkan pemaparan di atas, komitmen
pemerintah untuk mendukung keberadaan berdagangan bebas di satu sisi memang
memberikan dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian yang ada di Indonesia,
akan tetapi disisi lain dengan adanya keterbukaan pasar tersebut juga memberikan
ancaman terhadap eksistensi industri domesik dan pasar tradisional yang ada di
Indonesia.
Dengan melihat
kondisi demikian, maka tidak heran beberapa Negara berkembang termasuk
Indonesia mulai memperhatikan dampak dari kebijakan-kebijakan dagang WTO dan
mulai berfikir untuk lebih mengembangkan pasar domestik. Selain Indonesia
Negara-negara berkembang seperti China, Jepang dan Taiwan memberlakukan
pembangunan ekonomi dualistis yaitu liberalisasi perdagangan di satu pihak dan
proteksi di lain pihak.[16]
[1] Kartadjumena,
GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, cetakan
pertama, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 230
[2] Yusuf
Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,
cetakan kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 7
[3] Kartadjumena,
GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, cetakan
pertama, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 232
[4] Kartadjumena,
GATT dan WTO, Sistem Forum Dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, cetakan
pertama, (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 234
[5]
Ibid, hlm. 235
[6] http://hukumonline.com/berita/baca/hol22560/tim-penanggulangan-acft-dibentuk,
akses 09 Desember 2011
[7] Badan Pusat
Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan1-2011, Berita
Resmi Statistik, No/31/05/Th. XIV, 5 Mei
2011
[8] Badan Pusat
Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan1-2011, Berita
Resmi Statistik, No/31/05/Th. XIV, 5 Mei
2011
[9] Badan Pusat
Statistik, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan1-2011, Berita
Resmi Statistik, No/31/05/Th. XIV, 5 Mei 2011
[10] Badan Pusat
Statistik (BPS), Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan,
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut
Provinsi, 2010, akses 06 November 2011
[11] Badan
Pusat Statistik (BPS), Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan,
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut
Provinsi, 2010, akses 07 Desember 2011
[12]
Ibid. Akses 13 Desember 2011
[13] http://hukumonline.com/berita/baca/hol22560/produsen-baja-nasional-kembali-menjerit,
akses 07 Desember 2011
[14] http://beritasore.com/2010/02/11/kasus-dumping-meningkat-tajam/,
akses 05 Desember 2011
[15] http://www.detiknews.com/read/2011/08/18/124036/1705882/159/bukan-lautan-hanya-kolam-impor,
akses 07 Desember 2011
[16]“Kebijakan proteksi kian meresahkan”,http://www.mupeng.com/threads/15275-Kebijakan-Proteksi-Kian-Meresahkan.
akses 21 Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar