REGULASI TINDAKAN PENGAMANAN (SAFEGUARD) DAN ANTI DUMPING DI
INDONESIA
A.
Regulasi Tindakan Pengamanan (Safeguard)
di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 bahwa yang dimaksud dengan Tindakan Pengamanan (safeguards)
adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau
mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri sebagai akibat dari
lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan
saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri
yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut dapat
melakukan penyesuaian struktural.[1]
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa safeguards
adalah tindakan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah Negara pengimpor
untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah adanya ancaman kerugian serius
terhadap industri dalam negeri akibat dari lonjakan impor berang sejenis atau
barang yang secara langsung bersaing.
Tindakan tersebut digunakan oleh
Negara-negara anggota WTO untuk melindungi industri dalam negeri yang bersifat non-diskriminatif.
Dengan demikian, bahwa tindakan pengamanan (safeguard) adalah bertujuan
untuk melakukan perlindungan atau untuk melakukan proteksi terhadap produk
industri dalam negeri dari lonjakan impor yang merugikan atau yang mengancam
kerugian produk industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.[2]
Beradasarkan pemaparan di atas, maka
sebuah tindakan pengamanan (safeguard) memiliki beberapa ketentuan
khusus yang dapat menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebuah
tindakan pengamanan ataukah tidak, Adapun kreteria yang menjadi syarat sahnya
tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1.
Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu
yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian
serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk
impor yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah
pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk bertindak melakukan pengaman
industri dalam negerinya, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam
melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2.
Terdapat kerugian serius atau ancaman
kerugian serius.
Maksud
dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri
dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah
ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh
industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar.[3]
3.
Tindakan tersebut bertujuan untuk
melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4.
Terdapat barang sejenis.
Barang
sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala
hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik,
tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5.
Terdapat barang yang secara langsung
bersaing
Barang
yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang
merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.[4]
Tindakan pengamanan (safeguard)
dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang
Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang
Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
Dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002
mencakup beberapa hal yang terkait dengan tata cara tindakan pengamanan,
diantaranya meliputi ruang lingkup, pembuktian, tindakan pengamatan sementara,
penentuan kerugian serta penyelidikan sedangkan dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 meliputi bagian pelengkap
dari Kepres Nomor 84 Tahun 2002, seperti surat keterangan asal (certificate
of origin), ketentuan importir yang mengimpor barang dari negara-negara
yang dikecualikan dari pengenaan bea masuk tambahan safeguards dan/atau
kuota serta tindakan pengamanan (safeguards).
1.
Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang
Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor
Dalam
Pasal 2 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 dijelaskan bahwa ruang lingkup untuk tidak
pengamanan (safeguard) mencakup seluruh industri dalam negeri yang
mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius akibat lonjakan
impor baik secara relatif atau absolut yang masuk ke wilayah Indonesia.
Adapun
dalam hal penyelidikan terhadap adanya dugaan lonjakan dari barang impor yang
sejenis dapat dikelompokkan menjadi beberapa tahap, yaitu tahap permohonan
pihak yang berkepentingan, jangka waktu permohonan, putusan komite terhadap
permohonan penetapan oleh komite sampai pada tahap pembuktian:
a.
Permohonan
1)
Pihak berkepentingan
dapat mengajukan permohonan kepada Komite untuk melakukan penyelidikan atas
lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius
industri dalam negeri.[5]
2)
Pihak yang mengajukan
permohonan dapat menarik kembali permohonan penyelidikan yang diajukan kepada
Komite. Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat yang
menunjukkan industri dalam negeri mengalami kerugian serius dan atau ancaman
kerugian serius sebagai akibat dari lonjakan impor, Komite menghentikan
penyelidikan tindakan pengamanan.[6]
3)
Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan data yang sekurang-kurangnya memuat:
a)
Identifikasi pemohon.
b)
Uraian lengkap barang
terselidik.
c)
Uraian lengkap barang
sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.
d)
Nama eksportir dan
Negara pengekspor dan atau Negara asal barang.
e)
Industri dalam negeri
yang dirugikan.
f)
Informasi mengenai
kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius.
g)
Informasi data impor
barang terselidik.
b.
Waktu permohonan dan
putusan Komite
1)
Dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan permohonan tindakan pengamanan.
2)
Berdasarkan hasil
penelitian serta bukti-bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan
pemohon tersebut, Komite memberikan keputusan berupa:
a)
Menolak permohonan
dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
b)
Menerima permohonan
dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi persyaratan.
c.
Penetapan Komite
1)
Penetapan Komite untuk
mengadakan atau tidak mengadakan suatu penyelidikan atas permohonan pihak
berkepentingan harus diberitahukan secara tertulis disertai alasan-alasannya
kepada pihak berkepentingan serta mengumumkan penetapan tersebut dalam media
cetak.
2)
Pemberitahuan Komite
mengenai alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pihak
berkepentingan diberikan kesempatan untuk melakukan tanggapan apabila dianggap
terdapat ketidaksesuaian atas alasan-alasan tersebut paling lama 15 (lima
belas) hari sejak penetapan Komite.[7]
d.
Penundaan penundaan
atau pengakhiran penyelidikan
1)
Penundaan atau
pengakhiran penyelidikan harus diumumkan dalam media cetak dengan memuat
alasan-alasan serta didukung oleh fakta dan disampaikan segera kepada pihak
berkepentingan.
2)
Penetapan penghentian
penyelidikan tindakan pengamanan oleh Komite, seluruh bea masuk atas impor barang
terselidik yang dikenakan tindakan pengamanan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) dan telah dibayarkan oleh para importir barang
terselidik harus dikembalikan kepada importir barang terselidik tersebut. Dalam
jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak penetapan penghentian
penyelidikan tindakan pengamanan oleh Komite, Menteri Keuangan mencabut bea
masuk barang terselidik yang dikenakan tindakan pengamanan sementara.
e.
Pengembalian bea masuk
1)
Pengembalian bea masuk
harus dilaksanakan sesegera mungkin, selambat- lambatnya 15 (lima belas) hari
sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan mengenai pencabutan pengenaan
bea masuk.
2)
Penyelidikan yang
dilakukan oleh Komite harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 200 (dua
ratus) hari sejak penetapan dimulainya penyelidikan.
3)
Dalam hal diperlukan
informasi tambahan untuk kepentingan pembuktian, Komite dapat mengirimkan
daftar pertanyaan tertulis kepada pihak berkepentingan.[8]
f.
Penentuan Kerugian
1)
Penentuan kerugian
serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat
lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari
seluruh faktor- faktor terkait secara objektif dan terukur dari industri
dimaksud meliputi :
a)
tingkat dan besarnya
lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun relatif terhadap
barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;
b)
pangsa pasar dalan
negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik; dan
c)
perubahan tingkat
penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian
serta kesempatan kerja.
2)
Untuk menentukan
lonjakan impor yang mengakibatkan terjadinya ancaman kerugian serius, Komite
juga dapat menganalisis faktor-faktor lainnya sebagai tambahan selain
faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seperti:
a)
Kapasitas sektor riil
dan potensial dari negara atau negara- negara produsen asal barang;
b)
Persediaan barang
terselidik di Indonesia dan di negara pengekspor.
3)
Penetapan terjadinya
suatu ancaman kerugian serius sebagai akibat lonjakan impor harus di dasarkan
pada fakta-fakta dan tidak boleh didasarkan pada dugaan, prakiraan atau
kemungkinan lain.[9]
g.
Pembuktian
1)
Komite berhak meminta
data dan informasi langsung kepada pihak yang berkepentingan atau sumber
lainnya yang dianggap layak, baik instansi, lembaga pemerintah atau swasta,
untuk kepentingan pengumpulan alat bukti dan kepentingan pembuktian dalam
melaksanakan kewenangan sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden.
2)
Komite dapat
menentukan sendiri bukti-bukti berdasarkan data dan informasi yang tersedia (best
information available) apabila dalam penyelidikan pihak berkepentingan :
a)
Tidak memberikan
tanggapan, data atau informasi yang dibutuhkan sebagaimana mestinya dalam kurun
waktu yang disediakan oleh Komite.
b)
Menghambat jalannya
proses penyelidikan.
3)
Dalam melaksanakan
proses pembuktian, Komite harus memberikan kesempatan yang sama atau seimbang
kepada pihak berkepentingan untuk menyampaikan bukti-bukti tertulis dan untuk
memberikan informasi atau keterangan tambahan tertulis lainnya kepada Komite.
4)
Komite dapat melakukan
verifikasi atas data dan informasi yang berasal atau diperoleh dari pihak
berkepentingan di negara pengekspor atau di negara asal barang terselidik dan
industri dalam negeri.[10]
2.
Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of
Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
Berbeda dengan Kepres Nomor 84 Tahun 2002,
dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008
hanya bersifat pelengkap atau penjelas mengenai kreteria barang-barang impor
yang dapat dikenakan tindakan pengamanan atau tidak. Khususnya untuk Surat
Keterangan Asal (Certificate of Origin) bagi barang impor.[11]
Surat Keterangan Asal (Certificate of
Origin) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan
ketentuan asal barang di negara pengekspor. Bagi Negara-negara importir yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan
sebagai importir barang yang dikenakan tindakan pengamanan berupa pengenaan bea
masuk tambahan safeguards atau kuota.
B.
Regulasi Anti-Dumping di Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan dumping adalah praktek dagang yang
dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komoditi di pasar tradisional dengan
harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut
di negerinya sendiri. Atau dari harga jual kepada Negara lain pada umunya.
Praktek tersebut dinilai tidak adil kerena dapat merusak pasaran dan merugikan
produsen pesaing di Negara pengimpor.[12]
Dapat dikatakan bahwa dumping adalah
sebuah bentuk diskriminasi terhadap produk dengan melalui harga internasional
yang dilakukan oleh Negara pengekspor yang “menjual rugi” barangnya di pasar
luar negeri dengan tujuan memperoleh keuntungan atau sengaja untuk
menginterpensi pasar domestik di Negara pengimpor.
Dengan melihat defenisi di atas, maka
dapat diketahui bahwa sesuatu yang dapat dikatakan dumping yang melanggar
ketentuan WTO memiliki kreteria sebagai berikut:
1.
Produk dari satu Negara yang
diperdagangkan oleh Negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari
harga normal.
2.
Akibat dari diskriminasi tersebut yang
menimbulkan kerugian materiel terhadap industri yang telah berdiri atau menjadi
halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.[13]
3.
Adanya hubungan sebab-akibat antara
harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Adapun upaya untuk memproteksi adanya
praktek dumping tersebut diperlukan sebuah tindakan yang disebut dengan
anti-dumping. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2011 2010 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan
Perdagangan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan anti dumping adalah
tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk antidumping
terhadap barang dumping.[14]
Sedangkan dalam literatur lain Anti-Dumping dapat didefiniskan sebagai suatu
bentuk tindakan balasan yang dilakukan pemerintah Negara importir dengan cara
pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap barang-barang yang diduga dumping dan
menimbulkan kerugian serius atau ancaman kerugian bagi Negara importir.
Jelasnya tindakan tersebut dapat
dikenakan terhadap barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai
normal dari harga barang sejenis di pasar domestik Negara pengimpor sehingga
menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri dalam negera
pengimpor.
Untuk dapat melaksanakan tindakan
anti-dumping tersebut, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum anti-dumping,
baik berupa pengaturan perundang-undangan maupun komite anti-dumping. beberapa
pengaturan tersebut diantaranya adalah:
1.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995
Tentang Kepabeanan yang terdapat dalam Pasal 18-20 Tentang Bea Masuk
Anti-Dumping dan Bea Masuk Imbalan.
2.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun1995 Tentang Kepabeanan.
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996
Tentang Bea Masuk Anti-Dumping dan Bea Masuk Imbalan.
4.
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 136.MPP/Kep/6/1996 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping
Indonesia.
5.
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping
Indonesia.
6.
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping
Indonesia.
7.
Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 Tentang Perubahan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/9/1996 Tentang Tata cara
Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Mengandung Subsidi.
Setelah dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 7 Tahun Pengesahan (ratifikasi) Agrement Establishing the Word
Trade Organisation, salah satu yang menjadi perhatian Indonesia terhadap
hasil persetujuan putaran Uruguay adalah masalah anti-dumping sebagaimana
diatur dalam article VI GATT 1994 yang menyatakan bahwa setiap Negara
anggota GATT diperbolehkan untuk mengenakan tindakan anti-dumping terhadap
barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai normal dari harga
yang sama di pasar domestik Negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian
terhadap industri dalam Negara pengimpor.[15]
Dalam pelaksanaan peraturan anti-dumping
melibatkan beberapa lembaga, mulai dari teknis administratif hingga
lembaga-lembaga pengambil keputusan setingkat departemen. Adapun
lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan peraturan anti-dumping tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Komete Anti Dumping Indonesia (KADI)
Pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk
AntiDumping dan Bea Masuk Imbalan, mendirikan Komite Anti Dumping sebagai
otoritas penyelidikan dumping dan subsidi. Sejak KADI dibentuk pada tahun 1996,
KADI baru menghasilkan pengenaan BMAD untuk 38 kasus.[16]
KADI,
adalah unit lembaga pemerintah yang bertugas untuk menangani permasalahan yang
berkaitan dengan upaya penanggulangan importasi barang dumping dan barang
mengandung subsidi. Dalam melaksanakan tugas, KADI menyelenggarakan fungsi:
a.
Melakukan penyelidikan tindakan
antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian terhadap kebenaran
tuduhan dumping atau subsidi, adanya kerugian dan hubungan sebab akibat.
b.
Mengumpulkan, meneliti dan mengolah
bukti dan informasi terkait dengan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan
imbalan, dan tindakan penyesuaian.
c.
Membuat laporan hasil penyelidikan
tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian.
d.
Merekomendasikan pengenaan bea masuk
anti dumping dan bea masuk imbalan kepada Menteri.
e.
Melaksanakan tugas lain terkait yang
diberikan oleh Menteri
Dalam melaksanakan
tugas dan fungsi, KADI mempunyai wewenang:
a.
Menyusun ketentuan lebih lanjut yang
bersifat teknis dan administratif yang berkaitan dengan penyelidikan tindakan
antidumping, tindakan imbalan dan tindakan penyesuaian
b.
Melakukan penyelidikan terhadap
eksportir, eksportir produsen, pemohon, industri dalam negeri, dan importir
serta pihak-pihak lain yang terkait dengan barang dumping atau subsidi
c.
Keputusan menerima atau menolak
permohonan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan
penyesuaian serta dimulainya penyelidikan.
d.
Keputusan untuk menghentikan
penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian. [17]
2.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan
KADI
selaku lembaga penyelenggaraan teknis administratif yang melakukan penyelidikan
atas dugaan praktek dumping dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab
kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Menteri Perindustrian dan
Perdagangan. Dalam kedudukan selaku Menteri berwenang untuk menentukan hal-hal
sebagai berikut:
a.
Memutuskan besarnya nilai tertentu untuk
pengenaan tindakan sementara.
b.
Memutuskan menerima atau menolak
tindakan penyesuaian.
c.
Memutuskan besarnya nilai tertentu untuk
pengenaan bea masuk anti dumping.
d.
Memutuskan menghentikan atau melanjutkan
pengenaan bea masuk anti dumping.
e.
Memutuskan menghentikan atau melanjutkan
pengenaan bea masuk anti dumping dalam hal dilakukannya review atas bea
masuk anti-dumping.[18]
3.
Menteri Keuangan
Selaku
penyelenggara otoritas moneter, Menteri Keuangan dalam pengadministrasian
peraturan anti-dumping mempunyai wewenang sebagai berikut:
a.
Menetapkan tindakan sementara yang dapat
berupa pembayaran bea masuk anti-dumping sementara atau penyerahan jaminan
dalam bentuk uang tunai, jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi.
b.
Mengakhiri tindakan sementara yang
berupa pengenaan bea masuk anti-dumping atau pencabutan tindakan sementara dan
pengembalian pembayaran bea masuk anti-dumping sementara atau pengembalian
jaminan.
c.
Menetapkan besarnya bea masuk
anti-dumping.
4.
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Keberatan
terhadap penetapan bea masuk anti-dumping dapat diajukan pada lembaga banding
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1995
Tentang Kepabeanan.[19]
Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah badan penyelesaian sengketa pajak yang
bertugas memeriksa dan memutuskan banding terhadap keputusan bea masuk
anti-dumping oleh pejabat yang berwenang.[20]
Dalam hal pengenaan bea masuk anti
dumping dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
2011 2010 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan
Pengamanan Perdagangan, dijelaskan bahwa terhadap barang impor selain dikenakan
bea masuk dapat dikenakan bea masuk antidumping, jika harga ekspor dari barang
yang diimpor lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian (positif
dumping). Sedangkan besarnya bea masuk anti dumping paling tinggi sama
dengan marjin dumping.[21]
Adapun untuk perkara penyelidikan
terhadap adanya dugaan barang dumping tersebut dapat dikelompokkan menjadi
beberapa tahap, yaitu tahap permohonan, penyelidikan, bukti dan informasi,
tindakan sementara, tindakan penyesuaian sampai pada pengenaan bea masuk
antidumping. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
1.
Permohonan
Permohonan
hanya dapat dilakukan oleh Produsen Dalam Negeri Barang Sejenis dan Asosiasi Produsen
Dalam Negeri Barang Sejenis yang mewakili industri dalam negeri dengan syarat:
a.
Produksinya lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari jumlah produksi pemohon
b.
Produksi dari Pemohon dan Produsen Dalam
Negeri Barang Sejenis yang mendukung permohonan penyelidikan menjadi lebih dari
50% (lima puluh persen) dari jumlah produksi pemohon, pendukung, dan yang
menolak permohonan penyelidikan.
c.
Permohonan harus memuat bukti awal dan
didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya barang dumping, kerugian serta
hubungan sebab akibat antara barang dumping dan kerugian yang dialami oleh
pemohon.[22]
2.
Penyelidikan
Bea
masuk anti dumping dikenakan setelah ada
penyelidikan oleh KADI yang dilakukan berdasarkan permohonan atau
berdasarkan inisiatif KADI. Untuk permohonan
Produsen Dalam Negeri Barang Sejenis atau Asosiasi Produsen Dalam Negeri
dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada KADI untuk melakukan
penyelidikan dalam rangka pengenaan tindakan anti dumping atas barang impor
yang diduga sebagai barang dumping yang menyebabkan kerugian.[23]
Sedangkan penyelidikan berdasarkan inisiatif
KADI dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai
adanya barang dumping, kerugian industri dalam negeri, dan hubungan sebab akibat
antara barang dumping dan kerugian industri dalam negeri.
Penyelidikan
hanya dapat dilakukan apabila produksi dari pemohon atau produksi dari pemohon
dan yang mendukung permohonan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
dari total produksi barang sejenis yang dihasilkan oleh industri dalam negeri,
dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan atau produksi dari
industri dalam negeri yang mendukung dilakukannya penyelidikan berjumlah 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari total produksi barang sejenis yang
dihasilkan oleh industri dalam negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan
berdasarkan inisiatif KADI.
Penyelidikan
tidak dapat dilakukan atau segera harus dihentikan terhadap eksportir,
eksportir produsen, atau negara pengekspor tertentu apabila KADI menemukan
besarnya marjin dumping kurang dari 2% (dua persen) atau negartif dumping
dari harga ekspor atau volume impor barang dumping dari satu negara kurang dari
3% (tiga persen) beberapa negara secara kumulatif 7% (tujuh persen) atau kurang
dari total impor barang sejenis.[24]
Dalam
hal permohonan diterima secara lengkap, KADI memberitahukan mengenai adanya
permohonan kepada pemerintah negara pengekspor dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap, KADI:
1.
Melakukan kajian atas kecukupan dan
ketepatan bukti awal yang disampaikan dalam permohonan.
2.
Memberikan keputusan menolak, dalam hal
permohonan tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau
menerima dan menetapkan dimulainya penyelidikan, dalam hal permohonan memenuhi
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1).
Penyelidikan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak
tanggal penyelidikan dimulai. Dalam keadaan tertentu, jangka waktu penyelidikan
dapat diperpanjang menjadi paling lama 18 (delapan belas) bulan akan tetapi
apabila dalam masa penyelidikan tidak ditemukan adanya bukti barang dumping yang
menyebabkan kerugian, KADI segera menghentikan penyelidikan dan melaporkan
kepada Menteri.[25]
Dalam
hal laporan akhir hasil penyelidikan tidak terbukti adanya barang dumping yang
menyebabkan kerugian, KADI melaporkan kepada Menteri mengenai penghentian
penyelidikan.
Penghentian
penyelidikan harus segera diberitahukan kepada eksportir atau eksportir
produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan
Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, pemohon atau industri dalam
negeri dan importir disertai dengan alasan. Dalam hal laporan akhir hasil
penyelidikan terbukti adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian, KADI
menyampaikan besarnya marjin dumping dan merekomendasikan kepada Menteri
mengenai pengenaan bea masuk anti dumping.[26]
3.
Bukti dan informasi
Dalam
melakukan penyelidikan barang dumping, KADI meminta penjelasan yang diperlukan
kepada pihak:
1.
Eksportir atau eksportir produsen secara
langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor.
2.
Pemohon atau industri dalam negeri.
3.
Importir.
Dalam
hal alasan tidak dapat diterima, KADI dapat mengabaikan kerahasian suatu
penjelasan atau dokumen yang disampaikan. Penjelasan atau dokumen yang
dinyatakan bersifat rahasia tidak dapat diberikan kepada pihak lain, kecuali
dengan izin khusus dari pemberi penjelasan atau dokumen.[27]
Pihak
harus menyampaikan penjelasan secara tertulis kepada KADI disertai dengan bukti
pendukung dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender
terhitung sejak tanggal surat permintaan penjelasan. Dalam hal pihak tidak dapat menyampaikan penjelasan jangka
waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari, pihak dapat meminta tambahan jangka
waktu kepada kadi paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.
Selain
permintaan penjelasan kepada pihak, KADI juga memberikan kesempatan kepada
industri Pengguna Barang Yang Diselidiki dan Wakil Organisasi Konsumen untuk
memberikan informasi mengenai barang yang diselidiki. Dalam hal jumlah
eksportir, eksportir produsen, importir, atau jenis barang yang diselidiki
menyangkut jumlah yang besar, KADI dapat membatasi pemeriksaan dalam
penyelidikan. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan cara memilih secara
acak eksportir, eksportir produsen, importir, atau jenis barang yang diselidiki
dengan mempergunakan metode statistik berdasarkan informasi yang tersedia atau
menggunakan persentase terbesar dari volume ekspor barang yang diselidiki di
negara yang bersangkutan.[28]
Atas
permintaan eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri,
importir, dan pemerintah negara pengekspor atau inisiatif KADI, KADI
menyelenggarakan dengar pendapat dalam rangka memberikan kesempatan kepada
eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri, importir,
dan pemerintah negara pengekspor untuk memberikan bukti dan informasi secara
lisan guna pembelaan.[29]
Permintaan
tersebut hanya dapat diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari kalender
sejak batas akhir tanggal pengembalian permintaan penjelasan atau paling lambat
14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal laporan pendahuluan hasil
penyelidikan.
Dalam
melakukan pembelaan, eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam
negeri, importir, dan pemerintah negara pengekspor harus menyampaikan bukti
tertulis paling lambat 5 (lima) hari kalender terhitung sejak tanggal dengar
pendapat diselenggarakan.
Dalam
hal eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri, atau
importir menolak memberikan penjelasan atau dokumen atau menghalangi
penyelidikan, KADI melakukan penyelidikan berdasarkan bukti yang dimiliki.
Dalam menyelidiki kerugian, kadi wajib mengevaluasi faktor ekonomi yang terkait
dengan kondisi industri dalam negeri dan faktor lain yang relevan.[30]
4.
Pengenaan Bea Masuk Anti dumping
Untuk
memperoleh pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional, Menteri menyampaikan
rekomendasi KADI kepada Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
yang terkait dengan barang yang diselidiki. Menteri atau Kepala Lembaga
Pemerintah Non Kementerian memberikan pertimbangan dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Menteri
mengenai permintaan pertimbangan.[31]
Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari kerja Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang terkait
dengan barang yang diselidiki tidak menyampaikan pertimbangan, maka dianggap
menyetujui rekomendasi KADI.
Dalam
jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
rekomendasi KADI, Menteri memutuskan untuk menerima atau menolak rekomendasi
KADI. Dalam hal Menteri menerima rekomendasi KADI, Menteri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja
menyampaikan surat kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang keuangan mengenai keputusan:
1.
Besarnya pengenaan bea masuk antidumping
2.
Jangka waktu pengenaan bea masuk
antidumping.[32]
Besarnya
pengenaan bea masuk anti dumping untuk barang yang diekspor oleh eksportir atau
eksportir produsen yang tidak diperiksa dalam penyelidikan ditetapkan paling
banyak sama dengan rata-rata tertimbang marjin dumping yang ditetapkan
berdasarkan bukti dan informasi dari eksportir atau eksportir produsen yang
terpilih untuk diperiksa atau selisih antara rata-rata tertimbang nilai normal
dari eksportir atau eksportir produsen yang diperiksa dengan harga ekspor dari
eksportir atau produsen yang tidak diperiksa.[33]
Dalam
menentukan besarnya pengenaan bea masuk, apabila marjin dumping yang nilainya
nol atau kurang dari 2% (dua persen) tidak diperhitungkan. Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan menetapkan besaran
tarif dan jangka waktu pengenaan bea masuk anti dumping sesuai dengan Keputusan
Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya surat.
Besarnya
bea masuk anti dumping yang ditetapkan untuk importasi barang dumping dari
eksportir atau eksportir produsen atau masing-masing eksportir atau eksportir
produsen dalam satu negara pengekspor atau eksportir atau eksportir produsen
dari beberapa negara pengekspor. dalam hal masing-masing eksportir atau
eksportir produsen dalam satu negara tidak dapat disebutkan satu persatu,
pengenaan bea masuk anti dumping dapat ditetapkan untuk satu negara pengekspor.
Dalam
hal eksportir atau eksportir produsen dari beberapa, pengenaan bea masuk anti
dumping dapat ditetapkan untuk setiap eksportir atau eksportir produsen dari
masing-masing negara pengeskpor atau satu negara pengekspor yang berlaku untuk
seluruh eksportir atau eksportir produsen di negara tersebut.
Pengenaan
bea masuk anti dumping berlaku paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal pengenaan. Dalam hal tindakan sementara sudah diberlakukan surut
terhitung sejak tanggal pengenaan bea masuk anti dumping sementara.[34]
Pemberlakuan surut hanya dapat diberlakukan
terhadap pengenaan bea masuk anti dumping yang pengenaannya didasarkan pada
adanya kerugian terhadap industri dalam negeri atau adanya ancaman kerugian
yang akan menjadi kerugian industri dalam negeri sebagai akibat impor barang
dumping jika tindakan sementara tidak diberlakukan.[35]
Pemberlakuan
surut pengenaan bea masuk anti dumping dapat diberlakukan paling lama 90
(sembilan puluh) hari sebelum tanggal pengenaan tindakan sementara.
Pemberlakuan surut dilakukan, jika KADI mengetahui bahwa barang yang diselidiki
pernah diimpor sebagai barang dumping dalam jangka waktu singkat dengan jumlah
yang sangat besar yang mempengaruhi efektifitas pengenaan bea masuk anti
dumping untuk menghilangkan kerugian atau importir selama ini telah mengimpor
barang dumping yang dapat menyebabkan kerugian.
Pemberlakuan
surut tidak dapat diberlakukan terhadap pengenaan bea masuk anti dumping yang
pengenaannya didasarkan adanya ancaman kerugian terhadap industri dalam negeri
atau terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
Pemberlakuan surut pengenaan bea masuk anti dumping tidak dapat diberlakukan
sebelum tanggal dimulainya penyelidikan.[36]
[1]
Lihat Pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 Tentang
Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) Terhadap Barang Impor Yang
Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
[2] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 214
[3]
Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri
Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[4]Barang
terselidik adalah barang yang impornya mengalami lonjakan sehingga
mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius industri dalam
negeri.
[5]
Lihat Pasal 3 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri
Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[6]
Ibid, Pasal 6
[7]
Lihat Pasal 7 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri
Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[8]
Lihat Pasal 1 ayat (4) Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan
Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[9]
Lihat Pasal 12 dan 13 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan
Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[10]
Lihat Pasal 14, 15, 16, 17 dan 18 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan
Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[11]
Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) adalah surat keterangan
yang menyatakan negara asal barang, yang diterbitkan oleh instansi/lembaga yang
diberi kewenangan oleh pemerintah negara pengekspor. Lihat pasal 1 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat
Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang
Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
[12] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 115
[13] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
[14] Lihat Pasal 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan
Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
[15] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm. 144
[16] http://www.depdag.go.id/lib/anotherweb/statis-5-tupoksidankewenangan.html,
Akses 11 Desember 2011
[17] http://www.depdag.go.id/lib/anotherweb/statis-5-tupoksidankewenangan.html,
Akses 11 Desember 2011
[18]
Lihat Pasal 17, 22, 26 dan 33 PP Nomor. 34 Tahun 1996
[19]
Untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal
96 ayat (1), dibentuk lembaga banding dengan nama Lembaga Pertimbangan Bea dan
Cukai. (2) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai berkedudukan di Jakarta. (3)
Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang ketua dan
beranggotakan unsur Pemerintah, pengusaha swasta, dan pakar.
[20] Lihat Pasal 29
dan 30 PP Nomor. 34 Tahun 1996
[21] Lihat Pasal 2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan
Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
[22] Lihat Pasal 4
Ayat (1)-(4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011
Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan
Perdagangan
[23] Ibid, Pasal 3
[24] Lihat Pasal 6
Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang
Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[25] Lihat Pasal 9
Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang
Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[26] Lihat Pasal 10
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan
Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[27] Ibid, Pasal 11
Ayat (1) dan (6)
[28] Lihat Pasal 12
Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011
Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan
Perdagangan
[29] Ibid, Pasal 13
Ayat (1)
[30] Lihat Pasal 17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan
Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[31] Lihat Pasal 25
Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang
Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[32] Ibid, Pasal 25
Ayat (5)
[33] Lihat Pasal
26 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan,
dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
[34] Lihat Pasal 30
Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang
Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[35] Ibid, Pasal 30
Ayat (3)
[36] Lihat Pasal 30
Ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang
Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar