Kamis, 10 Mei 2012


REGULASI TINDAKAN PENGAMANAN (SAFEGUARD) DAN ANTI DUMPING DI INDONESIA



A.    Regulasi Tindakan Pengamanan (Safeguard) di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 bahwa yang dimaksud dengan Tindakan Pengamanan (safeguards) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural.[1]
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa safeguards adalah tindakan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah Negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah adanya ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat dari lonjakan impor berang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.
Tindakan tersebut digunakan oleh Negara-negara anggota WTO untuk melindungi industri dalam negeri yang bersifat non-diskriminatif. Dengan demikian, bahwa tindakan pengamanan (safeguard) adalah bertujuan untuk melakukan perlindungan atau untuk melakukan proteksi terhadap produk industri dalam negeri dari lonjakan impor yang merugikan atau yang mengancam kerugian produk industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.[2]


Beradasarkan pemaparan di atas, maka sebuah tindakan pengamanan (safeguard) memiliki beberapa ketentuan khusus yang dapat menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebuah tindakan pengamanan ataukah tidak, Adapun kreteria yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1.      Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk bertindak melakukan pengaman industri dalam negerinya, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2.      Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar.[3]
3.      Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4.      Terdapat barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5.      Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.[4]

Tindakan pengamanan (safeguard) dalam sistem hukum Indonesia diatur dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
Dalam Kepres Nomor 84 Tahun 2002 mencakup beberapa hal yang terkait dengan tata cara tindakan pengamanan, diantaranya meliputi ruang lingkup, pembuktian, tindakan pengamatan sementara, penentuan kerugian serta penyelidikan sedangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 meliputi bagian pelengkap dari Kepres Nomor 84 Tahun 2002, seperti surat keterangan asal (certificate of origin), ketentuan importir yang mengimpor barang dari negara-negara yang dikecualikan dari pengenaan bea masuk tambahan safeguards dan/atau kuota serta tindakan pengamanan (safeguards).
1.      Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor
Dalam Pasal 2 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 dijelaskan bahwa ruang lingkup untuk tidak pengamanan (safeguard) mencakup seluruh industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius akibat lonjakan impor baik secara relatif atau absolut yang masuk ke wilayah Indonesia.
Adapun dalam hal penyelidikan terhadap adanya dugaan lonjakan dari barang impor yang sejenis dapat dikelompokkan menjadi beberapa tahap, yaitu tahap permohonan pihak yang berkepentingan, jangka waktu permohonan, putusan komite terhadap permohonan penetapan oleh komite sampai pada tahap pembuktian:
a.       Permohonan
1)      Pihak berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada Komite untuk melakukan penyelidikan atas lonjakan impor yang mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius industri dalam negeri.[5]
2)      Pihak yang mengajukan permohonan dapat menarik kembali permohonan penyelidikan yang diajukan kepada Komite. Dalam hal hasil penyelidikan ternyata tidak ada bukti kuat yang menunjukkan industri dalam negeri mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius sebagai akibat dari lonjakan impor, Komite menghentikan penyelidikan tindakan pengamanan.[6]
3)      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan data yang sekurang-kurangnya memuat:
a)      Identifikasi pemohon.
b)      Uraian lengkap barang terselidik.
c)      Uraian lengkap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.
d)     Nama eksportir dan Negara pengekspor dan atau Negara asal barang.
e)      Industri dalam negeri yang dirugikan.
f)       Informasi mengenai kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius.
g)      Informasi data impor barang terselidik.
b.      Waktu permohonan dan putusan Komite
1)      Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pengajuan permohonan tindakan pengamanan.
2)      Berdasarkan hasil penelitian serta bukti-bukti awal yang lengkap sebagaimana yang diajukan pemohon tersebut, Komite memberikan keputusan berupa:
a)      Menolak permohonan dalam hal permohonan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
b)      Menerima permohonan dan memulai penyelidikan dalam hal permohonan memenuhi persyaratan.
c.       Penetapan Komite
1)      Penetapan Komite untuk mengadakan atau tidak mengadakan suatu penyelidikan atas permohonan pihak berkepentingan harus diberitahukan secara tertulis disertai alasan-alasannya kepada pihak berkepentingan serta mengumumkan penetapan tersebut dalam media cetak.
2)      Pemberitahuan Komite mengenai alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pihak berkepentingan diberikan kesempatan untuk melakukan tanggapan apabila dianggap terdapat ketidaksesuaian atas alasan-alasan tersebut paling lama 15 (lima belas) hari sejak penetapan Komite.[7]
d.      Penundaan penundaan atau pengakhiran penyelidikan
1)      Penundaan atau pengakhiran penyelidikan harus diumumkan dalam media cetak dengan memuat alasan-alasan serta didukung oleh fakta dan disampaikan segera kepada pihak berkepentingan.
2)      Penetapan penghentian penyelidikan tindakan pengamanan oleh Komite, seluruh bea masuk atas impor barang terselidik yang dikenakan tindakan pengamanan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan telah dibayarkan oleh para importir barang terselidik harus dikembalikan kepada importir barang terselidik tersebut. Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak penetapan penghentian penyelidikan tindakan pengamanan oleh Komite, Menteri Keuangan mencabut bea masuk barang terselidik yang dikenakan tindakan pengamanan sementara.
e.       Pengembalian bea masuk
1)      Pengembalian bea masuk harus dilaksanakan sesegera mungkin, selambat- lambatnya 15 (lima belas) hari sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan mengenai pencabutan pengenaan bea masuk.
2)      Penyelidikan yang dilakukan oleh Komite harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 200 (dua ratus) hari sejak penetapan dimulainya penyelidikan.
3)      Dalam hal diperlukan informasi tambahan untuk kepentingan pembuktian, Komite dapat mengirimkan daftar pertanyaan tertulis kepada pihak berkepentingan.[8]
f.       Penentuan Kerugian
1)      Penentuan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang terselidik harus didasarkan kepada hasil analisis dari seluruh faktor- faktor terkait secara objektif dan terukur dari industri dimaksud meliputi :
a)      tingkat dan besarnya lonjakan impor barang terselidik, baik secara absolut ataupun relatif terhadap barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing;
b)      pangsa pasar dalan negeri yang diambil akibat lonjakan impor barang terselidik; dan
c)      perubahan tingkat penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan dan kerugian serta kesempatan kerja.
2)      Untuk menentukan lonjakan impor yang mengakibatkan terjadinya ancaman kerugian serius, Komite juga dapat menganalisis faktor-faktor lainnya sebagai tambahan selain faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), seperti:
a)      Kapasitas sektor riil dan potensial dari negara atau negara- negara produsen asal barang;
b)      Persediaan barang terselidik di Indonesia dan di negara pengekspor.
3)      Penetapan terjadinya suatu ancaman kerugian serius sebagai akibat lonjakan impor harus di dasarkan pada fakta-fakta dan tidak boleh didasarkan pada dugaan, prakiraan atau kemungkinan lain.[9]
g.      Pembuktian
1)      Komite berhak meminta data dan informasi langsung kepada pihak yang berkepentingan atau sumber lainnya yang dianggap layak, baik instansi, lembaga pemerintah atau swasta, untuk kepentingan pengumpulan alat bukti dan kepentingan pembuktian dalam melaksanakan kewenangan sesuai dengan ketentuan Keputusan Presiden.
2)      Komite dapat menentukan sendiri bukti-bukti berdasarkan data dan informasi yang tersedia (best information available) apabila dalam penyelidikan pihak berkepentingan :
a)      Tidak memberikan tanggapan, data atau informasi yang dibutuhkan sebagaimana mestinya dalam kurun waktu yang disediakan oleh Komite.
b)      Menghambat jalannya proses penyelidikan.
3)      Dalam melaksanakan proses pembuktian, Komite harus memberikan kesempatan yang sama atau seimbang kepada pihak berkepentingan untuk menyampaikan bukti-bukti tertulis dan untuk memberikan informasi atau keterangan tambahan tertulis lainnya kepada Komite.
4)      Komite dapat melakukan verifikasi atas data dan informasi yang berasal atau diperoleh dari pihak berkepentingan di negara pengekspor atau di negara asal barang terselidik dan industri dalam negeri.[10]
2.      Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
Berbeda dengan Kepres Nomor 84 Tahun 2002, dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 hanya bersifat pelengkap atau penjelas mengenai kreteria barang-barang impor yang dapat dikenakan tindakan pengamanan atau tidak. Khususnya untuk Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) bagi barang impor.[11]
Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan ketentuan asal barang di negara pengekspor. Bagi Negara-negara importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai importir barang yang dikenakan tindakan pengamanan berupa pengenaan bea masuk tambahan safeguards atau kuota.

B.     Regulasi Anti-Dumping di Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan dumping adalah praktek dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komoditi di pasar tradisional dengan harga yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri. Atau dari harga jual kepada Negara lain pada umunya. Praktek tersebut dinilai tidak adil kerena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di Negara pengimpor.[12] 
Dapat dikatakan bahwa dumping adalah sebuah bentuk diskriminasi terhadap produk dengan melalui harga internasional yang dilakukan oleh Negara pengekspor yang “menjual rugi” barangnya di pasar luar negeri dengan tujuan memperoleh keuntungan atau sengaja untuk menginterpensi pasar domestik di Negara pengimpor.
Dengan melihat defenisi di atas, maka dapat diketahui bahwa sesuatu yang dapat dikatakan dumping yang melanggar ketentuan WTO memiliki kreteria sebagai berikut:
1.      Produk dari satu Negara yang diperdagangkan oleh Negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal.
2.      Akibat dari diskriminasi tersebut yang menimbulkan kerugian materiel terhadap industri yang telah berdiri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.[13]
3.      Adanya hubungan sebab-akibat antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Adapun upaya untuk memproteksi adanya praktek dumping tersebut diperlukan sebuah tindakan yang disebut dengan anti-dumping. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 2010 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindakan anti dumping adalah tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk antidumping terhadap barang dumping.[14] Sedangkan dalam literatur lain Anti-Dumping dapat didefiniskan sebagai suatu bentuk tindakan balasan yang dilakukan pemerintah Negara importir dengan cara pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap barang-barang yang diduga dumping dan menimbulkan kerugian serius atau ancaman kerugian bagi Negara importir.
Jelasnya tindakan tersebut dapat dikenakan terhadap barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai normal dari harga barang sejenis di pasar domestik Negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian bagi industri dalam negera pengimpor.
Untuk dapat melaksanakan tindakan anti-dumping tersebut, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum anti-dumping, baik berupa pengaturan perundang-undangan maupun komite anti-dumping. beberapa pengaturan tersebut diantaranya adalah:
1.      Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang terdapat dalam Pasal 18-20 Tentang Bea Masuk Anti-Dumping dan Bea Masuk Imbalan.
2.      Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun1995 Tentang Kepabeanan.
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti-Dumping dan Bea Masuk Imbalan.
4.      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136.MPP/Kep/6/1996 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping Indonesia.
5.      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10/2000 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping Indonesia.
6.      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping Indonesia.
7.      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7/2001 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/9/1996 Tentang Tata cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Mengandung Subsidi.
Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun Pengesahan (ratifikasi) Agrement Establishing the Word Trade Organisation, salah satu yang menjadi perhatian Indonesia terhadap hasil persetujuan putaran Uruguay adalah masalah anti-dumping sebagaimana diatur dalam article VI GATT 1994 yang menyatakan bahwa setiap Negara anggota GATT diperbolehkan untuk mengenakan tindakan anti-dumping terhadap barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai normal dari harga yang sama di pasar domestik Negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian terhadap industri dalam Negara pengimpor.[15]
Dalam pelaksanaan peraturan anti-dumping melibatkan beberapa lembaga, mulai dari teknis administratif hingga lembaga-lembaga pengambil keputusan setingkat departemen. Adapun lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan peraturan anti-dumping tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Komete Anti Dumping Indonesia (KADI)
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk AntiDumping dan Bea Masuk Imbalan, mendirikan Komite Anti Dumping sebagai otoritas penyelidikan dumping dan subsidi. Sejak KADI dibentuk pada tahun 1996, KADI baru menghasilkan pengenaan BMAD untuk 38 kasus.[16]
KADI, adalah unit lembaga pemerintah yang bertugas untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan importasi barang dumping dan barang mengandung subsidi. Dalam melaksanakan tugas, KADI menyelenggarakan fungsi:
a.       Melakukan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian terhadap kebenaran tuduhan dumping atau subsidi, adanya kerugian dan hubungan sebab akibat.
b.      Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi terkait dengan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian.
c.       Membuat laporan hasil penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian.
d.      Merekomendasikan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan kepada Menteri.
e.       Melaksanakan tugas lain terkait yang diberikan oleh Menteri
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, KADI mempunyai wewenang:
a.       Menyusun ketentuan lebih lanjut yang bersifat teknis dan administratif yang berkaitan dengan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan dan tindakan penyesuaian
b.      Melakukan penyelidikan terhadap eksportir, eksportir produsen, pemohon, industri dalam negeri, dan importir serta pihak-pihak lain yang terkait dengan barang dumping atau subsidi
c.       Keputusan menerima atau menolak permohonan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian serta dimulainya penyelidikan.
d.      Keputusan untuk menghentikan penyelidikan tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan penyesuaian. [17]
2.      Menteri Perindustrian dan Perdagangan
KADI selaku lembaga penyelenggaraan teknis administratif yang melakukan penyelidikan atas dugaan praktek dumping dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Dalam kedudukan selaku Menteri berwenang untuk menentukan hal-hal sebagai berikut:
a.       Memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan tindakan sementara.
b.      Memutuskan menerima atau menolak tindakan penyesuaian.
c.       Memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan bea masuk anti dumping.
d.      Memutuskan menghentikan atau melanjutkan pengenaan bea masuk anti dumping.
e.       Memutuskan menghentikan atau melanjutkan pengenaan bea masuk anti dumping dalam hal dilakukannya review atas bea masuk anti-dumping.[18]


3.      Menteri Keuangan
Selaku penyelenggara otoritas moneter, Menteri Keuangan dalam pengadministrasian peraturan anti-dumping mempunyai wewenang sebagai berikut:
a.       Menetapkan tindakan sementara yang dapat berupa pembayaran bea masuk anti-dumping sementara atau penyerahan jaminan dalam bentuk uang tunai, jaminan bank atau jaminan dari perusahaan asuransi.
b.      Mengakhiri tindakan sementara yang berupa pengenaan bea masuk anti-dumping atau pencabutan tindakan sementara dan pengembalian pembayaran bea masuk anti-dumping sementara atau pengembalian jaminan.
c.       Menetapkan besarnya bea masuk anti-dumping.
4.      Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Keberatan terhadap penetapan bea masuk anti-dumping dapat diajukan pada lembaga banding sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.[19] Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah badan penyelesaian sengketa pajak yang bertugas memeriksa dan memutuskan banding terhadap keputusan bea masuk anti-dumping oleh pejabat yang berwenang.[20]
Dalam hal pengenaan bea masuk anti dumping dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 2010 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, dijelaskan bahwa terhadap barang impor selain dikenakan bea masuk dapat dikenakan bea masuk antidumping, jika harga ekspor dari barang yang diimpor lebih rendah dari nilai normalnya dan menyebabkan kerugian (positif dumping). Sedangkan besarnya bea masuk anti dumping paling tinggi sama dengan marjin dumping.[21]

Adapun untuk perkara penyelidikan terhadap adanya dugaan barang dumping tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa tahap, yaitu tahap permohonan, penyelidikan, bukti dan informasi, tindakan sementara, tindakan penyesuaian sampai pada pengenaan bea masuk antidumping. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
1.      Permohonan
Permohonan hanya dapat dilakukan oleh Produsen Dalam Negeri Barang Sejenis dan Asosiasi Produsen Dalam Negeri Barang Sejenis yang mewakili industri dalam negeri dengan syarat:
a.       Produksinya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah produksi pemohon
b.      Produksi dari Pemohon dan Produsen Dalam Negeri Barang Sejenis yang mendukung permohonan penyelidikan menjadi lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah produksi pemohon, pendukung, dan yang menolak permohonan penyelidikan.
c.       Permohonan harus memuat bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya barang dumping, kerugian serta hubungan sebab akibat antara barang dumping dan kerugian yang dialami oleh pemohon.[22]
2.      Penyelidikan
Bea masuk anti dumping dikenakan setelah ada  penyelidikan oleh KADI yang dilakukan berdasarkan permohonan atau berdasarkan inisiatif KADI. Untuk permohonan  Produsen Dalam Negeri Barang Sejenis atau Asosiasi Produsen Dalam Negeri dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan tindakan anti dumping atas barang impor yang diduga sebagai barang dumping yang menyebabkan kerugian.[23]
 Sedangkan penyelidikan berdasarkan inisiatif KADI dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya barang dumping, kerugian industri dalam negeri, dan hubungan sebab akibat antara barang dumping dan kerugian industri dalam negeri.
Penyelidikan hanya dapat dilakukan apabila produksi dari pemohon atau produksi dari pemohon dan yang mendukung permohonan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari total produksi barang sejenis yang dihasilkan oleh industri dalam negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan atau produksi dari industri dalam negeri yang mendukung dilakukannya penyelidikan berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari total produksi barang sejenis yang dihasilkan oleh industri dalam negeri, dalam hal penyelidikan dilakukan berdasarkan inisiatif KADI.
Penyelidikan tidak dapat dilakukan atau segera harus dihentikan terhadap eksportir, eksportir produsen, atau negara pengekspor tertentu apabila KADI menemukan besarnya marjin dumping kurang dari 2% (dua persen) atau negartif dumping dari harga ekspor atau volume impor barang dumping dari satu negara kurang dari 3% (tiga persen) beberapa negara secara kumulatif 7% (tujuh persen) atau kurang dari total impor barang sejenis.[24]
Dalam hal permohonan diterima secara lengkap, KADI memberitahukan mengenai adanya permohonan kepada pemerintah negara pengekspor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan  diterima secara lengkap, KADI:
1.      Melakukan kajian atas kecukupan dan ketepatan bukti awal yang disampaikan dalam permohonan.
2.      Memberikan keputusan menolak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a atau menerima dan menetapkan dimulainya penyelidikan, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1).

Penyelidikan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penyelidikan dimulai. Dalam keadaan tertentu, jangka waktu penyelidikan dapat diperpanjang menjadi paling lama 18 (delapan belas) bulan akan tetapi apabila dalam masa penyelidikan tidak ditemukan adanya bukti barang dumping yang menyebabkan kerugian, KADI segera menghentikan penyelidikan dan melaporkan kepada Menteri.[25]
Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan tidak terbukti adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian, KADI melaporkan kepada Menteri mengenai penghentian penyelidikan.
Penghentian penyelidikan harus segera diberitahukan kepada eksportir atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor, perwakilan Negara Republik Indonesia di negara pengekspor, pemohon atau industri dalam negeri dan importir disertai dengan alasan. Dalam hal laporan akhir hasil penyelidikan terbukti adanya barang dumping yang menyebabkan kerugian, KADI menyampaikan besarnya marjin dumping dan merekomendasikan kepada Menteri mengenai pengenaan bea masuk anti dumping.[26]
3.      Bukti dan informasi
Dalam melakukan penyelidikan barang dumping, KADI meminta penjelasan yang diperlukan kepada pihak:
1.      Eksportir atau eksportir produsen secara langsung atau melalui pemerintah negara pengekspor.
2.      Pemohon atau industri dalam negeri.
3.      Importir.
Dalam hal alasan tidak dapat diterima, KADI dapat mengabaikan kerahasian suatu penjelasan atau dokumen yang disampaikan. Penjelasan atau dokumen yang dinyatakan bersifat rahasia tidak dapat diberikan kepada pihak lain, kecuali dengan izin khusus dari pemberi penjelasan atau dokumen.[27]
Pihak harus menyampaikan penjelasan secara tertulis kepada KADI disertai dengan bukti pendukung dalam jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal surat permintaan penjelasan. Dalam hal pihak  tidak dapat menyampaikan penjelasan jangka waktu paling lambat 40 (empat puluh) hari, pihak dapat meminta tambahan jangka waktu kepada kadi paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender.
Selain permintaan penjelasan kepada pihak, KADI juga memberikan kesempatan kepada industri Pengguna Barang Yang Diselidiki dan Wakil Organisasi Konsumen untuk memberikan informasi mengenai barang yang diselidiki. Dalam hal jumlah eksportir, eksportir produsen, importir, atau jenis barang yang diselidiki menyangkut jumlah yang besar, KADI dapat membatasi pemeriksaan dalam penyelidikan. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan cara memilih secara acak eksportir, eksportir produsen, importir, atau jenis barang yang diselidiki dengan mempergunakan metode statistik berdasarkan informasi yang tersedia atau menggunakan persentase terbesar dari volume ekspor barang yang diselidiki di negara yang bersangkutan.[28]
Atas permintaan eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri, importir, dan pemerintah negara pengekspor atau inisiatif KADI, KADI menyelenggarakan dengar pendapat dalam rangka memberikan kesempatan kepada eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri, importir, dan pemerintah negara pengekspor untuk memberikan bukti dan informasi secara lisan guna pembelaan.[29]
Permintaan tersebut hanya dapat diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak batas akhir tanggal pengembalian permintaan penjelasan atau paling lambat 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal laporan pendahuluan hasil penyelidikan.
Dalam melakukan pembelaan, eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri, importir, dan pemerintah negara pengekspor harus menyampaikan bukti tertulis paling lambat 5 (lima) hari kalender terhitung sejak tanggal dengar pendapat diselenggarakan.
Dalam hal eksportir, eksportir produsen, pemohon atau industri dalam negeri, atau importir menolak memberikan penjelasan atau dokumen atau menghalangi penyelidikan, KADI melakukan penyelidikan berdasarkan bukti yang dimiliki. Dalam menyelidiki kerugian, kadi wajib mengevaluasi faktor ekonomi yang terkait dengan kondisi industri dalam negeri dan faktor lain yang relevan.[30]
4.      Pengenaan Bea Masuk Anti dumping
Untuk memperoleh pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional, Menteri menyampaikan rekomendasi KADI kepada Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang terkait dengan barang yang diselidiki. Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian memberikan pertimbangan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat Menteri mengenai permintaan pertimbangan.[31]
 Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang terkait dengan barang yang diselidiki tidak menyampaikan pertimbangan, maka dianggap menyetujui rekomendasi KADI.
Dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal rekomendasi KADI, Menteri memutuskan untuk menerima atau menolak rekomendasi KADI. Dalam hal Menteri menerima rekomendasi KADI, Menteri dalam  jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja menyampaikan surat kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan mengenai keputusan:
1.      Besarnya pengenaan bea masuk antidumping
2.      Jangka waktu pengenaan bea masuk antidumping.[32]
Besarnya pengenaan bea masuk anti dumping untuk barang yang diekspor oleh eksportir atau eksportir produsen yang tidak diperiksa dalam penyelidikan ditetapkan paling banyak sama dengan rata-rata tertimbang marjin dumping yang ditetapkan berdasarkan bukti dan informasi dari eksportir atau eksportir produsen yang terpilih untuk diperiksa atau selisih antara rata-rata tertimbang nilai normal dari eksportir atau eksportir produsen yang diperiksa dengan harga ekspor dari eksportir atau produsen yang tidak diperiksa.[33]
Dalam menentukan besarnya pengenaan bea masuk, apabila marjin dumping yang nilainya nol atau kurang dari 2% (dua persen) tidak diperhitungkan. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan menetapkan besaran tarif dan jangka waktu pengenaan bea masuk anti dumping sesuai dengan Keputusan Menteri dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya surat.
Besarnya bea masuk anti dumping yang ditetapkan untuk importasi barang dumping dari eksportir atau eksportir produsen atau masing-masing eksportir atau eksportir produsen dalam satu negara pengekspor atau eksportir atau eksportir produsen dari beberapa negara pengekspor. dalam hal masing-masing eksportir atau eksportir produsen dalam satu negara tidak dapat disebutkan satu persatu, pengenaan bea masuk anti dumping dapat ditetapkan untuk satu negara pengekspor.
Dalam hal eksportir atau eksportir produsen dari beberapa, pengenaan bea masuk anti dumping dapat ditetapkan untuk setiap eksportir atau eksportir produsen dari masing-masing negara pengeskpor atau satu negara pengekspor yang berlaku untuk seluruh eksportir atau eksportir produsen di negara tersebut.
Pengenaan bea masuk anti dumping berlaku paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengenaan. Dalam hal tindakan sementara sudah diberlakukan surut terhitung sejak tanggal pengenaan bea masuk anti dumping sementara.[34] Pemberlakuan surut  hanya dapat diberlakukan terhadap pengenaan bea masuk anti dumping yang pengenaannya didasarkan pada adanya kerugian terhadap industri dalam negeri atau adanya ancaman kerugian yang akan menjadi kerugian industri dalam negeri sebagai akibat impor barang dumping jika tindakan sementara tidak diberlakukan.[35]
Pemberlakuan surut pengenaan bea masuk anti dumping dapat diberlakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sebelum tanggal pengenaan tindakan sementara. Pemberlakuan surut dilakukan, jika KADI mengetahui bahwa barang yang diselidiki pernah diimpor sebagai barang dumping dalam jangka waktu singkat dengan jumlah yang sangat besar yang mempengaruhi efektifitas pengenaan bea masuk anti dumping untuk menghilangkan kerugian atau importir selama ini telah mengimpor barang dumping yang dapat menyebabkan kerugian.
Pemberlakuan surut tidak dapat diberlakukan terhadap pengenaan bea masuk anti dumping yang pengenaannya didasarkan adanya ancaman kerugian terhadap industri dalam negeri atau terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Pemberlakuan surut pengenaan bea masuk anti dumping tidak dapat diberlakukan sebelum tanggal dimulainya penyelidikan.[36]




[1] Lihat Pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-Dag/Per/9/2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate Of Origin) Terhadap Barang Impor Yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
[2] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 214
[3] Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[4]Barang terselidik adalah barang yang impornya mengalami lonjakan sehingga mengakibatkan kerugian serius atau ancaman kerugian serius industri dalam negeri.
[5] Lihat Pasal 3 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[6] Ibid, Pasal 6
[7] Lihat Pasal 7 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[8] Lihat Pasal 1 ayat (4) Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[9] Lihat Pasal 12 dan 13 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[10] Lihat Pasal 14, 15, 16, 17 dan 18 Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[11] Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) adalah surat keterangan yang menyatakan negara asal barang, yang diterbitkan oleh instansi/lembaga yang diberi kewenangan oleh pemerintah negara pengekspor. Lihat pasal 1 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards).
[12] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 115
[13] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
[14] Lihat Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
[15] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 144
[18] Lihat Pasal 17, 22, 26 dan 33 PP Nomor. 34 Tahun 1996
[19] Untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), dibentuk lembaga banding dengan nama Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai. (2) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai berkedudukan di Jakarta. (3) Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang ketua dan beranggotakan unsur Pemerintah, pengusaha swasta, dan pakar.
[20] Lihat Pasal 29 dan 30 PP Nomor. 34 Tahun 1996
[21] Lihat Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
[22] Lihat Pasal 4 Ayat (1)-(4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[23] Ibid, Pasal 3
[24] Lihat Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[25] Lihat Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[26] Lihat Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[27] Ibid, Pasal 11 Ayat (1) dan (6)
[28] Lihat Pasal 12 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[29] Ibid, Pasal 13 Ayat (1)
[30] Lihat Pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[31] Lihat Pasal 25 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[32] Ibid, Pasal 25 Ayat (5)
[33] Lihat Pasal 26  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan.
[34] Lihat Pasal 30 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan
[35] Ibid, Pasal 30 Ayat (3)
[36] Lihat Pasal 30 Ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar