Kamis, 10 Mei 2012


PERLAKUAN WORD TRADE ORGANISATION (WTO) KEPADA NEGARA BERKEMBANG DAN PRAKTEK DAGANG YANG TIDAK ADIL


A.    Perlakuan Word Trade Organisation (WTO) Terhadap Negara-negara Berkembang
Perdagangan bebas pada prinsipnya merupakan sebuah sarana untuk membentuk hubungan perdagangan antar Negara guna mecukupi segala kebutuhan Negara-negara tersebut. Perdagangan bebas hanya akan ideal apabila dilakukan oleh Negara-negara yang mempunyai power setara, akan tetapi sangat berbeda jika yang melakukan aktivitas perdagangan tersebut antara Negara maju dengan Negara berkembang atau Negara maju dengan Negara terkebelakang, maka hasilnya sudah dapat ditebak, yaitu Negara berkembang akan menjadi bulan-bulanan Negara maju.
Oleh karena itulah Word Trade Organisation (WTO) sebagai regulator perdagangan bebas memberikan perhatian khusus kepada Negara-negara berkembang untuk dapat terlibat dalam perdagangan bebas tanpa harus takut mendapatkan perlakuan diskriminatif dari Negara-negara maju.
Adapun perhatian tersebut diwujudkan dalam berbagai macam aturan yang memberikan keistimewaan bagi Negara-negara berkembang dalam melakukan aktivitas perdagangan dengan Negara-negara maju, seperti subsidi, proteksi melalui tarif serta beberapa pengecualian yang terdapat dalam aturan Word Trade Organisation (WTO).
Sedangkan bentuk-bentuk upaya lain yang dilakukan WTO sebagai bentuk perhatiannya kepada Negara berkembang adalah sebagai berikut:
1.      Word Trade Organisation (WTO) melakukan banyak konfrensi atau kerja sama teknis .
2.      Secretariat Word Trade Organisation (WTO) melakukan pelatihan-pelatihan kepada para pejabat pemerintah atau pihak lainnya dan Negara-negara berkembang.
3.      Mengumpulkan dana dari Negara-negara Word Trade Organisation (WTO) yang kaya untuk menyelenggarakan program-program yang melindungi kepentingan Negara-negara berkembang atau Negara tidak berkembang.
4.      Mendorong Negara-negara berkembang atau Negara-negara tidak berkembang untuk melakukan perundingan-perundingan yang diantaranya seperti perundingan untuk menurunkan proteksi di Negara-negara berkembang yang sudah relatif maju.
5.      Mendorong dibuatnya kesepakatan-kesepakatan Word Trade Organisation (WTO) yang mengandung ketentuan-ketentuan khusus berkenaan dengan kepentingan Negara-negara berkembang.
6.      Penyediaan bantuan teknis oleh sekertariat Word Trade Organisation (WTO) yang diperuntukkan bagi Negara-negara berkembang, seperti dalam bentuk pelatihan dalam bidang-bidang tertentu.
7.      Memberikan perhatian khusus bagi Negara-negara tidak berkembang dengan cara membuka pintu selebar-lebarnya oleh Negara maju bagi produk dari Negara-negara tidak berkembang tersebut. Serta menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi bagi Negara-negara tidak berkembang.
8.      Sejumlah Negara anggota Word Trade Organisation (WTO) menyediakan dana untuk membiayai para menteri dan anggota delegasi dari anggota negara tidak berkembang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan para menteri.
9.      Negara Swiss menyediakan kantor cuma-cuma di Geneva yang diperuntukkan khusus bagi Negara-negara tidak berkembang.[1]
Meskipun WTO telah memberikan keistimewaan berupa pengecualian-pengecualian atau Special and Differential Treatment Clause (S&D) untuk mendorong keikutsertaan negara berkembang dalam perdagangan bebas tersebut, akan tetapi implimentasi dari ketentuan perlakuan yang khusus kepada negara berkembang dan terbelakang ini sering kali menjadi hambatan di dalam perundingan perdagangan, hal tersebut dikarenakan penerapan akan S&D sangat ditentang oleh negara maju yang memandang bahwa Special and Differential Treatment Clause (S&D) hanya akan lebih mengganggu perdagangan internasional daripada menguntungkan.[2]

B.     Praktek-praktek Perdagangan yang Tidak Adil
Selain perlakuan diskriminasi terhadap Negara importir atau perlakuan diskriminasi pada produk-produk impor, hukum WTO juga menyediakan peraturan-peraturan terperinci mengenai dumping dan jenis subsidi terlarang, yang kedua praktek tersebut pada umumnya dikategorikan sebagai bentuk-bentuk perdagangan tidak adil.
1.      Dumping
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.[3]
Sedangkan menurut Erman Rajagukguk dalam bukunya Butir-butir Hukum Ekonomi, mendefinisikan dumping sebagai tindakan menjual barang di luar negeri lebih murah daripada dalam negeri, atau menjual barang di suatu Negara lebih murah dari pada Negara lain atau menjual barang keluar negeri yang lebih rendah dari biaya produksi dan transportasinya. Tindakan tersebut akan melanggar ketentuan perdagangan internasional apabila mengakibatkan injuri kepada produksi dalam negeri.[4]
Dengan melihat defenisi di atas, maka dapat diketahui bahwa sesuatu yang dapat dikatakan dumping yang melanggar ketentuan WTO memiliki kreteria sebagai berikut:
a.       Produk dari satu Negara yang diperdagangkan oleh Negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal.
b.      Akibat dari diskriminasi tersebut yang menimbulkan kerugian materiel terhadap industri yang telah berdiri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.[5]
c.       Adanya hubungan sebab-akibat antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Para ahli ekonomi pada umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga kategori, yaitu dumping yang bersifat sporadis (sporadic dumping), dumping yang bersifat menetap (persistent dumping) serta dumping yang bersifat merusak (predatory dumping). Disamping itu dalam perkembangannya muncul istilah diversionary dumping dan down streem dumping.
a.      Sporadic Dumping
Sporadic dumping adalah dumping yang dilakukan dengan menjual barang pada pasar luar negeri pada jangka waktu yang pendek dengan harga di bawah harga dalam negeri Negara pengekspor atau biaya produksi barang tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghapuskan barang yang tidak diinginkan. Dumping jenis ini bisa mengganggu pasar domestik Negara pengekspor karena ketidakpastian permintaan dari luar yang bisa berubah secara tiba-tiba.
b.      Persistent Dumping
Persistent dumping adalah penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang telah dilakukan sebelumnya. Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar monopolistic di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total keuntungannya dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dalam pasar domestiknya.[6]
c.       Predatory Dumping
Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.[7]
d.      Diversionary Dumping
Diversionary dumping adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar Negara ketiga dengan harga di bawah yang adil dan barang tersebut nantinya diproses dan dikapalkan untuk dijual ke pasar negara lain.
e.       Down Streem Dumping
Down streem dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah normal kepada produsen yang lain di dalam pasar negerinya dan produk tersebut diproses lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar Negara lain.[8]
Sedangkan apabila ditambahkan dengan pendapat Robert Willig, maka klasifikasi jenis dumping ditinjau dari segi tujuan eksportir dapat dilihat sebagai berikut:
a.      Market Expansion Dumping
Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.

b.      Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
c.       State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
d.      Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.[9]
2.      Anti Dumping
Adapun upaya untuk memproteksi adanya praktek dumping tersebut diperlukan sebuah tindakan yang disebut dengan Anti-Dumping. Anti-Dumping dapat didefiniskan sebagai suatu bentuk tindakan balasan yang dilakukan pemerintah Negara importir dengan cara pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap barang-barang yang diduga dumping dan menimbulkan kerugian serius atau ancaman kerugian bagi Negara importir.
Agar dapat menentukan apakah dumping telah terjadi, umumnya perbandingan harga dari ‘Nilai Normal’ dengan “Harga Ekspor” harus ditetapkan. Perbedaan kedua harga tersebut adalah marjin dumping. Marjin dumping tersebut penting, karena sebuah tindakan dumping tidak boleh melebihi marjin tersebut.
‘Nilai Normal’ menurut Pasal 2:1 Anti-Dumping Agrement, adalah harga dari “barang sejenis” di pasar Negara pengekspor. Agar transasksi penjualan dapat dipergunakan untuk menentukan nilai normal suatu barang, menurut Case Law.[10] Yang sudah bertahun-tahun teruji:
a.       Penjualan harus dilakukan dalam keadaan yang biasa.
b.      Penjualan harus dilakukan terhadap barang yang sejenis.
c.       Barang harus ditujukan untuk konsumsi di Negara pengekspor.
d.      Harga-harga dari barang tersebut harus dapat dibandingkan.
Akan tetapi apabila tidak dimungkinkan untuk menentukan “Nilai Normal” dari barang yang menggunakan metode Anti-Dumping Agrement, maka dapat menggunakan salah satu dari metode alternatif lain, yaitu dengan menggunakan harga ekspor ke negara ketiga sebagai Nilai Normal atau mengkotruksi Nilai Normal.
Nilai normal dan harga ekspor kemudian dibandingkan untuk menentukan besarnya marjin dumping. Perbandingan tersebut harus adil, oleh karena itu pada Pasal 2.4 Anti-Dumping Agrement menyediakan aturan tentang alternatif tersebut. Marjin dumping dapat positif dan dapat juga negatif. Positif jika harga ekspor lebih rendah dari pada nilai normal (positif dumping) dan terbukti negatif ketika harga ekspor lebih tinggi dari pada harga normal (negatif dumping).[11] Serta terjadinya dumping yang less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang.
Dalam Pasal 9 dan 11 Anti-Dumping Agreement, mengatur penerapan dan pengumpulan bea masuk anti-dumping. Hal tersebut penting agar:
a.       Tidak melebihi marjin dumping (perbedaan harga ekspor dan nilai normal barang yang dipermasalahkan).
b.      Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh untuk mengambil tindakan penghapusan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh dumping tersebut.
c.       Hanya diterapkan paling lama lima tahun, kecuali terbukti bahwa hal tersebut akan menjurus kepada kerugian yang bersifat terus-menerus dan berulang-ulang.[12] 
3.      Subsidi
a.       Subsidi yang Dilarang
Dalam Pasal 3 Agrement on Subsidies and Contervailing Measures (Perjanjian Mengenai Subsidi Dan Tindakan Imbalan), WTO secara tegas melarang jenis subsidi tertentu:
Subsidi ekspor, artinya subsidi-subsidi yang diberikan secara hukum (de jure) atau kenyataan (de facto), apakah secara tunggal atau secara satu di antara beberapa kondisi, tergantung pada performa ekspor.
Subsidi pengganti impor, artinya subsidi yang diberikan secara tunggal atau satu di antara beberapa kondisi, tergantung pada penggunaan barang domestik barang impor.
Dalam Pasal 4 Agrement on Subsidies and Contervailing Measures (Perjanjian Mengenai Subsidi Dan Tindakan Imbalan) mengatur tentang penyelesaian apabila terjadi sengketa atas subsidi yang dilarang tersebut. Jika panel atau Appellate Body menemukan bahwa sebuah tindakan merupakan subsidi yang dilarang yang masuk ke dalam pengertian Pasal 3 Agrement on Subsidies and Contervailing Measures, maka subsidi tersebut harus ditarik oleh anggota WTO tanpa penundaan. Jika rekomendasi untuk penarikan tidak diindahkan dalam waktu yang ditetapkan oleh panel, maka Badan Penyelesaian Sengketa oleh WTO harus berdasarkan permohonan tergugat atau penggugat-penggugat dengan konsensus terbalik mengijinkan tindakan balasan yang sesuai.
b.      Subsidi yang Menyebabkan Kerugian
Berdasarkan Pasal 5 Agrement on Subsidies and Contervailing Measures, bahwa subsidi dapat bermasalah apabila mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain. Ada tiga jenis pengaruh yang dapat menyebabkan kerugian terhadap kepentingan para anggota lain, yaitu:
1)      Kerugian terhadap industri domestik negara anggota.
Konsep kerugian terhadap industri domestik seperti yang dimaksud Pasal 5 (a) Agrement on Subsidies and Contervailing Measures mencakup kerugian material atau ancaman terjadinya kerugian terhadap industri domestik penghasil barang sejenis.[13]
2)      Pembatalan atau pengurangan terhadap keuntungan yang seharusnya didapat secara langsung atau tidak langsusng oleh anggota.
3)      Praduga yang serius.[14] Termasuk ancaman atas hal tersebut terhadap kepentingan anggota lain.
c.       Subsidi Pertanian
Secara garis besar subsidi dalam ekspor pertanian tidak dilarang, dengan syarat bahwa mereka telah didaftarkan dalam Section 2, Part 4 GATT Schedule of Concessions para anggota. Para anggota tidak boleh menyediakan subsidi-subsidi ekspor yang telah terdaftar melebihi skema rencana keuangan dan level komitmen kuatitatif yang telah di daftarkan dalam jadwal mereka.[15]
4.      Countervailing duties
Selain peraturan-peraturan mengenai subsidi, hukum WTO juga menyediakan peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan yang boleh diambil oleh anggota WTO untuk melindungi industri domestik yang menghasilkan barang-barang sejenis melawan akibat dampak negatif dari impor atas barang-barang bersubsidi.
Dalam Pasal 6 GATT 1994 mengizinkan para anggota WTO untuk menerapkan apa yang dikenal dengan “bea masuk” (Countervailing duties)”.[16] Countervailing Duties adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir.[17] WTO memungkinkan negara untuk menempatkan Countervailing Duties pada impor ketika pemerintah asing mensubsidi produk ekspornya yang pada gilirannya menyebabkan cedera pada perusahaan-perusahaan impor yang bersaing.
Terlepas dari kenyataan bahwa subsidi ekspor menghasilkan keuntungan bersih bagi negara pengimpor, negara pengimpor diperbolehkan di bawah aturan WTO untuk melindungi diri dari manfaat ini. Countervailing Duties ditempatkan jika dapat ditunjukkan bahwa subsidi memang menyebabkan cedera untuk mengimpor perusahaan yang bersaing.
Perlu penekanan bahwa Countervailing Duties dalam hal ini tidak melindungi negara juga tidak melindungi konsumen. Hukum ini dirancang untuk membantu perusahaan domestik. Tidak ada evaluasi efek pada konsumen dan tidak ada evaluasi dari efek kesejahteraan nasional diperlukan oleh hukum. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa cedera disebabkan kepada perusahaan impor yang bersaing.[18]
Countervailing Duties dikenakan terhadap barang impor setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut, perhitungan tersebut sama dengan Pasal 19 Tentang Bea Masuk Anti-dumping dikenakan terhadap barang impor yang terkena dumping.[19]
Jelasnya suatu Negara dapat mengenakan Countervailing Duties apabila subsidi yang diberikan memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a.       Subsidi tersebut harus mengakibatkan “be level pricing” di Negara pengimpor.
b.      Subsidi produk primer yang telah mengakibatkan membanjirnya barang melampaui”equitable shere” di pasar inetrnasional.
c.       Subsidi tersebut menimbulkan kerugian terhadap industri yang telah ada.
d.      Subsidi tersebut menghambat pendirian industri.[20]




[1] Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional. Aspek Hukum Dari WTO, cetakan pertama (Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2004), hlm. 105-106
[3] Fernandes Raja Saor, ketentuan anti-dumping: pengertian dan studi kasus yang melibatkan indonesia melalui WTO, raja.saor@gmail.com
[4] Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum Ekonomi, cetakan pertama, (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 32
[5] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
[6] Sukarni, Regulasi Anti-Dumping, Di bawah Bayang-bayang Pasar Bebas, cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 40
[7] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
[8] Sukarni, Regulasi Anti-Dumping, Di bawah Bayang-bayang Pasar Bebas, cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 42
[9] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 121
[10] Case Law adalah sistem penyelesaian sengketa yang ada dalam Word Trade Organisation (WTO). Lihat Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), hlm. 5
[11] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 41
[12] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 43
[13] Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud. Lihat Pasal 1 Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor
[14] Praduga yang serius terhadap kepentingan-kepentingan anggota lainnya seperti yang dicantumkan dalam Pasal 5(c), dapat timbul dalam situasi (1) ketika sebuah subsidi mempengaruhi impor barang yang sejenis dari anggota lain di dalam pasar dari anggota yang memberikan subsidi (2) ketika sebuah subsidi mempengaruhi ekspor dari sebuah barang sejenis dari anggota lainnya di pasar Negara ketiga (3) ketika subsidi menyebabkan pemotongan harga yang signifikan oleh barang bersubsidi dibandingkan dengan barang sejenis anggota lainnya di pasar yang sama (4) ketika subsidi menjurus kepada meningkatnya pembagian pasar dunia dari anggota WTO yang memberikan subsidi pada barang atau komuditi utama tertentu. Lihat Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 40
[15] Peter Van Den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO (Word Trade Organisation), cetakan pertama, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 45-50
[16] Ibid.hlm. 48
[19] Lihat Pasal 19 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
[20] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar