Kamis, 10 Mei 2012


KOMITMEN DAN LANGKAH-LANGKAH PEMERINTAH INDONESIA DALAM MELINDUNGI INDUSTRI DOMESTIK



A.    Komitmen Pemerintah Terhadap Perlindungan Industri Domestik Melalui Safeguard dan Anti-Dumping
Secara formal komitmen pemeritah untuk mengamankan industri dalam negerinya dari lonjakan impor barang sejenis dan praktek-praktek persaingan dagang yang tidak sehat telah diwujudkan dalam pembentukan beberapa aturan perundang-undangan, Kepres atau aturan serupa lainya yang berfungsi untuk mengantisipasi datangnya dampak negatif yang ditimbulkan dari perdagangan tersebut. Seperti Kepres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards), Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun1995 Tentang Kepabeanan, Keputusan Menteri Perindustrian serta Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000 Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping Indonesia.
Dalam beberapa kasus yang melibatkan Indonesia dengan Negara-negara maju, seperti kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh Korea Selatan terhadap beberapa perusahaan eksportir produk kertas Indonesia, komitmen tersebut diperlihatkan dengan usaha pemerintah untuk menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi. Dimulai dari tahap konsultasi penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Mechanism (DSM)  sampai pada pengajuan permohonan ke (Dispute Settlement Body (DSB) WTO.


Adapun komitmen lain yang dilakukan pemerintah sebagai langkah antisipasi dampak negatif dari keberadaan perdagangan bebas yaitu dengan membentuk beberapa lembaga dan tim penanggulangan masalah industri dan perdagangan seperti:
1.      Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI)
Komite pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) merupakan institusi pemerintah yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 84/MPP/Kep/2003 Tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia.
Tugas pokok KPPI ialah menyelidiki kemungkinan ditetapkannya tindakan pengamanan atas industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius karena adanya barang sejenis atau secara langsung bersaing dengan barang yang diproduksi oleh industri dalam negeri yang mengalami lonjakan impor besar.[1]
Selanjutnya dalam Kepres Nomor 84. Tahun 2002 Komite tersebut berwenang untuk melakukan penyelidikan, penundaan/penghentian penyelidikan dan segala keputusan yang berkaitan dengan rekomendasi perubahan atau perpanjangan jangka waktu pengenaan tindakan pengamanan serta keputusan dan/atau ancaman kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri akibat lonjakan impor.
2.      Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP)
Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) berperan dalam menghadapi tuduhan Negara lain terkait dengan membanjirnya produk Indonesia di pasar Negara tersebut sehingga menimbulkan kerugian. Selain itu Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) juga berperan dalam menghadapi tuduhan praktik dumping dan subsidi.
Dalam hal terjadinya tuduhan tersebut pemerintah Indonesia melalui Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) Direktorat Jendral Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan dalam hal:

a.       Mendapatkan informasi tuduhan dumping/subsidi/ safeguard melalui perwakilan RI di luar negeri, website, maupun stekholder lainnya dan berupaya untuk mendapatkan document tuduhan berupa notifikasi, petisi dan daftar pertanyaan untuk disampaikan kepada perusahaan tertuduh.
b.      Mengumpulkan bahan/informasi yang berkaitan dengan tuduhan seperti data ekspor dan impor dalam rangka mempelajari dan menganalisis petisi tuduhan serta untuk melakukan monitoring kasus tuduhan dumping, subsidi dan safeguard guna mendapatkan informasi terbaru.
c.       Memberikan bantuan advokasi kepada perusahaan tertuduh.
d.      Menyusun submisi dengan berkoordinasi dengan para stekholder untuk disampaikan kepada otoritas Negara.
e.       Memfasilitasi upaya penyelesaian kasus di tingkat badan penyelesaian sengketa (Dispute Settelment Body) WTO di Jenewa.[2]
3.      Tim Penanggulangan Masalah Industri dan Perdagangan
Tim ini bertugas menjaga penguatan ekspor dan pengamanan FTA, bukan hanya dampak dari ASEAN-China FTA, tapi juga FTA dari India dan Korea. Tindakan pengamanan tersebut dilakukan tim agar referensi tarif menjadi efektif. Selain itu sebagai upaya pencegahan masuknya penunggang-penunggang gelap ke Indonesia yang memanfaatkan diberlakukannya FTA. Selama ini, karena banyak Surat Keterangan Asal (SKA) yang dimiliki Indonesia ditunggangi China dalam rangka ekspor udang dari China ke Amerika Serikat.
Tim ini juga akan memeriksa jika terjadi lonjakan barang yang beredar di pasaran. Sebab lonjakan barang dapat disebabkan oleh penumpang-penumpang gelap tersebut. Selain itu yang juga menjadi perhatian dari tim ini adalah bagaimana sistem kerja Pemberitahuan Impor Barang (PIB) di Ditjen Bea dan Cukai. Karena banyak ketentuan Dirjen Bea Cukai yang belum berubah. Misalnya terkait biaya masuk antidumping yang sampai saat ini tidak ada. Begitu juga dengan pengaturan safeguard hak suatu negara yang diperkenankan untuk mengambil tindakan sementara (emergency) untuk melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor yang substansial dengan cara menghambat impor produk tertentu yang terbukti merugikan industri dalam negeri yang juga sampai saat ini tidak ada. 
Terdapat beberapa alasan yang memicu terbentuknya tim tersebut seperti, daya saing masih rendah karena tingkat produktivitas dan penguasaan pendidikan latihan yang rendah. Ketiadaannya produk unggulan sehingga menyebabkan akses pemasaran menjadi sulit akibat pasar di Indonesia mudah diintervensi oleh negara lain. Selain itu kekurangan infrastruktur dan ketersediaan energi.[3]
Melihat beberapa upaya tersebut, bisa dibilang secara formalitas selain berkomitmen mendukung keberadaan perdagangan bebas pemerintah juga mempunyai perhatian terhadap keberlangsungan pertumbuhan perekonomian domestik. Meskipun demikian, apabila eksistensi aturan-aturan tersebut dibenturkan dengan beberapa kasus seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka efiktivitas dan implementasi terhadap aturan-aturan tersebut perlu mendapat kajian ulang, mengapa, kenapa dan faktor apa yang menyebabkan kesenjangan tersebut terjadi.
Banyak analisa prediktif yang dapat menjelaskan fenomena tersebut, misalnya seperti aturan yang memang belum mampu mengakomodir semua permasalahan dagang internasional, pemerintah yang tidak mau dan mampu bertindak untuk mengimplementasikan aturan tersebut ataukah ada aspek politis lain yang menyebabkan lambatnya tindakan pengamanan tersebut? kesemua prediksi tersebut bisa saja terjadi tergantung sudut pandang yang melihatnya.
 Oleh sebab itu tidak heran apabila ada orang yang berkata” Apabila ingin belajar hukum, maka Indonesialah tempatnya, tetapi apabila ingin belajar penegakan hukum, maka Negara majulah wadahnya” hal tersebut merupakan pesan bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara penghasil prodouk hukum terbesar hanya berperan sebagai sampul, akan tetapi dalam implementasinya sangat mentah.
Hampir lebih 63 tahun sejak ratifikasi pengesahan organisasi perdagangan dunia WTO, Indonesia sebagai salah satu Negara yang memberikan dukungan terhadap keberadaan perdagangan bebas belum mampu sepenuhnya keluar dari keterpurukan krisis ekonomi.
Peningkatan pendapatan ekonomi atau dengan motif pemerataan pembangunan sebagai landasan utama keterlibatan pemerintah dalam perdagangan dunia sepertinya belum mampu dibuktikan sepenuhnya meskipun dengan data-data yang menggambarkan kemajuan pesat dalam bidang perekonomian tersebut.
Mencoba mengkonsep ulang paham Hans Kelsen dalam pendapatnya mengenai teori Sollen dan Sein yang berbunyi “Bahwa tujuan dan daya upaya dialami sebagai satu kesatuan, dalam arti bahwa kerapkali daya upaya mengerjakan tujuan, yaitu perbuatan manusia mengenai daya upaya mengerjakan tujuan merupakan sebab dari tujuan yang dikehendakinya, dalam hal ini, terdapat hubungan kausal antara daya upaya dan tujuan”.[4] Oleh karena itu, hubungan daya upaya dan tujuan dapat disamakan dengan hubungan antara norma hukum dan bentuk implementasi hukum tersebut.[5]
Apabila dibandingkan dengan pendapat di atas, maka dapat diketahui bahwa norma hukum dan bentuk implementasi norma hukum tersebut sebagai satu kesatuan, dalam arti bahwa seringkali upaya untuk mengimplementasikan norma hukum tersebut merupakan sebab dari dikehendakinya norma hukum itu dibuat. Dengan demikian antara norma hukum dan bentuk implementasi norma hukum tersebut memiliki sebuah ikatan kausalitas dimana dibentuknya sebuah norma hukum menuntut kepada diimplementasikannya norma hukum tersebut. Dalam bidang ini berlaku prinsip kausalitas, yaitu: ”Bila hal ini terjadi, maka hal tersebut terjadi pula”.
Nyatalah dalam rumusan prinsip tersebut bahwa relasi antara hal ini dan hal itu bersifat normatif, artinya bila terdapat sebuah norma hukum, maka harus disusul dengan pelaksanaan norma hukum tersebut, sekalipun dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Oleh karena implementasi sebuah norma hukum bukan hanya terletak pada faktor norma itu sendiri akan tetapi banyak faktor eksternal yang mendukungnya, seperti peranan pemerintah, peranan masyarakat hukum dll.
Norma dasar dapat dirumuskan dalam bentuk suatu kaidah hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang hukum, perlu ditekankan bahwa hubungan antara norma hukum dan bentuk implementasi norma hukum tersebut merupakan satu kesatuan, bukan berasal dari hukum alam, karena suatu yang berasal dari hukum alam tidak ada hubungannya dengan objek yang mempunyai suatu hak dan kewajiban.  
Hukum berakar dalam satu norma dasar, tetapi juga berpandangan bahwa efektivitas hukum menentukan apakah hukum itu ada atau tidak ada. Hal tersebut berarti bahwa suatu implementasi norma hukum tersebut ikut menentukan eksistensi suatu norma hukum.
Berlakunya sebuah undang-undang harus dipandang dalam kaitannya dengan sebuah proses pembentukan norma hukum oleh suatu instansi. Undang-undang berlaku karena dibentuk oleh instansi hukum yang kompeten yang mampu menjamin efektivitas dan diimplementasikannya norma hukum tersebut, jangan sampai Undang-undang hanya menjadi sebuah “huruf yang mati” yang tidak mempunyai daya apa-apa.
 Jelasnya dalam pandangan penulis yang dikemukakan disini bahwa secara teori seharusnya tidak terdapat pemisahan antara norma hukum sebagai (Sein) dan implementasi norma tersebut sebagai (Sollen). Karena apabila terjadi pemisahan di antara keduanya, maka bisa dikatakan bahwa sebuah efektivitas dan implementasi norma hukum bukan merupakan tuntutan lahirnya sebuah norma hukum.
Kembali kepada pokok permasalahan di atas, maka apabila ketidaksesuaian antara aturan-aturan pengamanan industri domestik dangan fakta empiris tersebut ditarik kepada kerangka teori dasar dalam kaitan antara norma dan fakta emperis (ada (Sein) dan harus (Sollen)), maka aturan-aturan tersebut yang menjadi Sollen atau norma dan fakta empiris  sebagai Sein tidak memiliki sebuah relasi yang bersifat normatif, dimana keadaan sebenarnya dari norma dan fakta empiris haruslah bersifat kausalitas.
Dengan demikian apabila dirumuskan dalam suatu norma hukum, maka dapat dikatakan bahwa terjadinya perbedaan antara Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Permendag Nomor 37, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 serta beberapa aturan pengamanan industri domestik lainnya dangan fakta empiris dalam lingkup implementasi, maka hal tersebut merupakan kegagalan dalam hukum atau hilangnya efektivitas  norma tersebut. Jelasnya apabila dikatakan tentang Negara secara keseluruhan. Andaikan terdapat suatu Negara tidak mampu mengimplementasikan aturan hukum sebagaimana mestinya, maka dapat dikatakan norma hukum tersebut telah kehilangan eksistensinya sebagai norma hukum.[6]
Mungkin di sini ada kesan bahwa implementasi dan efektivitas menjadi dasar berlakunya hukum tersebut tidak bisa dibenarkan seutuhnya, akan tetapi dasar berlakunya hukum adalah norma dasar. Agar norma dasar tersebut dapat berlaku dalam situasi yang kongkrit, syarat tertentu harus dipenuhi, yakni bahwa hukum itu efektif. Maka dapat dikatakan bahwa hadirnya implementasi dan efektivitas norma hukum merupakan syarat mutlak dari berlakunya hukum.
Terjadinya kesenjangan antara norma hukum dan implementasi dari norma tersebut dapat digambarkan dengan fakta sosial yang terjadi dalam kurun waktu 2010-2011.[7] Banyaknya kasus terkait maraknya protes dari beberapa para pelaku usaha domestik yang mengkritik lemahnya pengawasan pemerintah terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia sampai pada berlimpahnya barang dumping, menjadi saksi bahwa pemerintah kurang peka terhadap nasib industri domestiknya. Hal tersebut sekaligus pertanda bahwa aturan-aturan yang dibuat selama ini guna realisasi upaya prepentif dari dampak-dampak negatif perdagangan bebas tersebut hanyalah sebuah formalitas belaka atau sebagai penegas bahwa pemerintah telah mempunyai komitmen dalam upaya melindungi industri domestik”Meskipun tidak pada realitanya”. 
Pemerintah harus jujur terhadap keadaan yang telah terjadi dengan tidak menipu diri sendiri dan selalu menyalahkan pihak asing atas terpuruknya produsen dalam negeri. Tidak bisa dipungkiri peningkatan daya saing industri dalam negeri adalah hal yang penting namun hal itu tidak cukup jika tidak dibarengi dengan implementasi dari aturan-aturan tentang pengendalian impor.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi indikator timpangnya kesimbangan antara norma hukum dengan implementasinya, baik itu terkait dengan faktor internal yang ada di Indonesia sendiri ataupun faktor eksternal dalam hal hubungan Indonesia dengan Negara-negara lain. Adapun faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor ketergantungan terhadap produk impor, faktor lemahnya diplomasi ekonomi Indonesia, prilaku konsumen di Indonesia serta faktor kurangnya pengembangan ekonomi kreatif.
1.      Ketergantungan Terhadap Produk Impor.
Dalam teori struktural atau teori ketergantungan secara ringkas dijelaskan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan hanya disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga.[8]
Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, namun semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju kepada negara. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga melakukan roda pembangunannya secara mandiri.
Jelasnya teori struktural adalah teori yang berakar pada faktor-faktor eksternal suatu negera, seperti kebijakan pemerintah, sistem birokrasi, sistem hukum dll. Teori ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal  dan tidak hanya menyalahkan faktor internal serta sangat dipengaruhi ketergantungan.

Adapun faktor-faktor eksternal tersebut salah satunya adalah motivasi demi keuntungan ekonomi. Hal ini muncul untuk menjawab pertanyaan tentang alasan mengapa bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politik dan ekonomis.
Kalau melihat dari kacamata teori tersebut, maka yang menjadi fokus adalah keterkaitan antara pemerintah Indonesia dengan dunia luar dalam hal ketergantungan terhadap perdagangan bebas. Memang apabila melihat kembali pendapat Mantan Presiden Soeharto bahwa “Suka atau tidak suka umat manusia dan dunia menghadapi perubahan besar yang tidak dapat dihindari perubahan ini terutama disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang makin cepat dan luas, disamping itu juga perubahan dalam sikap dan pikiran manusia. Berhubung dengan itu dunia dan umat manusia semakin kecil dan erat hubungannya dengan satu sama lain”. Pendapat demikian sangat logis apabila melihat dalam konteks masa sekarang, akan tetapi timbul pertanyaan apakah ketergantungan tersebut sudah dibarengi dengan tindakan protektif atau kesiapan yang baik oleh pemerintah ?
Karena apabila dibiarkan begitu saja dengan keadaan perekonomian Negara yang seperti ini, maka hal tersebut adalah tindakan bunuh diri. Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan mempunyai potensi sumber daya alam yang besar akhirnya hanya akan menjadi boneka atau kolam impor bagi Negara-negara yang memang sudah siap dalam menghadapi adanya perdagangan bebas. 
Disini penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa Indonesia harus mampu memutus ketergantungan dengan Negara lain dan mulai mengoptimalkan indsutri dalam negeri dengan pemanfaatan sumber daya alam yang sudah ada, akan tetapi maksud penulis adalah pemerintah harus mampu memberikan jaminan bagi industri dalam negeri untuk mampu bersaing dengan industri luar dengan mulai memanfaatkan dispensasi-dispensasi yang diberikan oleh GATT/WTO bagi Negara-negara berkembang atau mengimplementasikan secara maksimal aturan-aturan pengamanan yang telah ada.


2.      Kelemahan diplomasi ekonomi Indonesia.
Indonesia sebagai Negara berkembang memiliki beberapa kelemahan dalam hal diplomasi ekonomi, yaitu kelemahan yang terletak pada sumber daya manusia yang menjalankan diplomasi ekonomi seperti para perunding yang terdiri dari para diplomat dan pejabat departemen tekhnis. Para diplomat mungkin dari segi penguasaan bahasa lebih mumpuni akan tetapi tidak dari sisi penguasaan subtansi, sementara pejabat menguasai dari sisi subtansi akan tetapi tidak dalam penguasaan bahasa. Hal tersebut diperparah dengan sangat sedikitnya para personil yang menguasai keterampilan untuk merancang kalimat hukum. Keterampilan diperlukan untuk berbagai kesepakatan yang pada akhirnya harus dituangkan dalam berbagai kalimat hukum dalam perjanjian internasinal.[9]
Para perunding kerap memperjuangkan sesuatu yang tidak menunjukan realitas di Indonesia. Memang bukan kesalahan mereka semata, karena tidak ada data base dasar yang dapat dijadikan dasar sebagai asumsi dalam perundingan yang terkait perdagangan internasional. Belum lagi penggalangan antara birokrat dan pelaku usaha yang ada di Indonesia masih sangat kurang dalam isu-isu perdagangan internasional sehingga apapun kebijakan pemerintah bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan.[10]
Para perunding kerap terlalu percaya diri (PD) untuk selalu menjadi yang terdepan dengan membawa perasaan seolah-olah mewakili Indonesia sebagai Negara maju, bahkan lebih maju dari Negara yang paling maju, sebagai akibatnya apa yang diperjuangkan bisa sangat liberal dan berujung pada kecelakaan liberalisasi ekonomi.
3.      Prilaku konsumen di Indonesia.
Setiap warga Negara Indonesia adalah konsumen karena mareka melakukan kegiatan konsumsi baik berupa barang ataupun jasa. Dengan demikian Indonesia memiliki lebih dari 200 juta konsumen. Indonesia merupakan pasar barang dan jasa yang mempunyai daya tarik yang kuat bagi perusahaan-perusahaan luar untuk melakukan investasi di Indonesia, baik dengan cara pengambilalihan saham perusahaan publik yang ada di Indonesia ataupun melalui inpansi pasar domestik.
Globalisasi ekonomi melalui perdagangan bebas memiliki pengaruh yang besar pada persaingan antara produk domestik dan produk impor. Bagi konsumen, pasar banyak menyediakan produk dan merek yang dapat memberikan pilihan kepada konsumen. Produk yang berkualitas dan merek yang mempunyai nama besar ditambah dengan harga yang murah menjadi alasan  mengapa konsumen harus memilih sebuah produk.
Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk berprilaku konsumtif terhadap produk-produk luar diantaranya seperti faktor budaya populer, keluarga serta gaya hidup.
a.       Budaya Populer
Budaya merupakan salah satu penentu keinginan seseorang yang paling mendasar. Bagi sekolompok masyarakat yang menjadikan setiap kebutuhan hidupnya dengan sebuah sertifikasi kelas sosial, maka secara otomatis akan selalu mengkonsumsi barang dan jasa yang dapat meningkatkan popularitas dan mempertahankan kelas sosialnya dengan jalan selalu mengkonsumsi barang dan jasa yang mempunyai nama besar atau merek-merek terkenal dari luar negeri.
b.      Keluarga
Faktor keluarga merupakan indikator lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap sikap konsumen dalam memenuhi kebutuhannya, karena fungsi kelurga sebagai bentuk lingkungan sosial yang berskala mikro merupakan awal dari sebuah terbentuknya pribadi-pribadi yang konsumtif terhadap barang dan jasa dari luar, baik itu melalui prilaku yang di awali dari kedua orang tuanya ataupun yang di awali dari anak-anak atau tetangga mereka.
c.       Gaya hidup
Adapun faktor yang terakhir adalah gaya hidup konsumen. Gaya hidup konsumen memeberikan kontribusi yang cukup besar terhadap prilaku dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Dengan akses informasi yang sangat terbuka dapat memberikan peluang kepada seseorang untuk beradaptasi dengan gaya hidup yang baru. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mencontoh secara fisik keseluruhan dari rambut sampai ujung kaki, dari topi sampai sepatu, atau dari kawat gigi sampai pada cat rambut, semua tersebut dilakukan untuk mengikuti trend atau atas nama kelas sosial yang lebih mejanjikan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat diketahui salah satu penyebab yang berpengaruh terhadap sikap kepercayaan konsumen dalam memenuhi kebutuhannya dengan produk impor adalah perubahan ‘budaya’ maupun peningkatan ‘psikologis’ konsumen yang dapat meningkatkan secara nyata sikap kepercayaannya dalam membeli dan mengkonsumsi produk impor dibandingkan produk lokal.
4.      Kurangnya pengembangan ekonomi kreatif.
Sejatinya, dalam Inpres No. 6/2009 disebutkan, Pemerintah akan memberikan berbagai insentif dan kemudahan untuk mengembangkan sektor idustri kreatif, baik insentif ekspor maupun subsidi impor bahan baku. Sebanyak 14 sektor industri kreatif akan dikembangkan. Mulai dari industri periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, radio dan televisi hingga riset dan pengembangan.
Dalam inpres itu juga terpampang akan dibentuk tim koordinasi pengembangan ekonomi kreatif untuk melakukan aksi pengembangan pada periode 2009-2014 yang akan diketuai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dengan wakilnya Menteri Koordinator Perekonomian. Selain itu, Pemerintah akan memberikan berbagai insentif ekspor dan subsidi impor bahan baku, termasuk mengembangkan infrastruktur transportasi dan infrastruktur telekomunikasi guna memperluas jangkauan produk. Pemerintah juga akan memberikan prioritas bantuan dan fasilitas pembiayaan industri di bidang ekonomi kreatif yang sudah layak dan mandiri tetapi belum bankable melalui koordinasi Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Selain dukungan fiskal dan pembiayaan, juga akan dibuat program dari sisi pendidikan untuk menciptakan SDM kreatif dengan peningkatan anggaran dan revisi kurikulum pendidikan yang berorientasi pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan. Tak sampai di situ, Pemerintah juga akan memberikan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha, regulasi impor dan ekspor, subsidi untuk menjamin nilai tambah yang dinikmati dengan adil hingga mendorong penegakan hukum atas penyelundupan, pembajakan dan pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Namun sayang, semua janji yang tertuang dalam Inpres belum sesuai dengan kenyataan. Hingga kini, industri kreatif masih kacau mencari dana untuk modal. Hal tersebut diperburuk dengan masalah lain yang membelit pelaku usaha di industri ini adalah soal suku bunga. pinjaman yang berkisar 16 persen.[11]

B.     Langkah Antisipasi yang Diperlukan Untuk Masa Mendatang
Seperti yang telah diketahui, bahwa landasan dasar pemerintah Indonesia masuk dalam sistem perdagangan global adalah untuk menjadi salah satu Negara industri baru di kawasan Asia pasifik, karenanya Indonesia harus melakukan trasportasi di bidang perekonomian dengan mengubah prioritas dari sektor pertanian menjadi sektor indutri. Akan tetapi harus diingat konsekuensi dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebut besar kemungkinan akan mempunyai dampak pada sektor lain seperti lingkungan hidup, keterbukaan pasar, peningkatan persaingan antar pasar domestik dan pasar modern dll.[12]
Oleh karena itulah untuk mecegah keberlanjutan dampak tersebut kearah yang negatif, maka Indonesia harus mempunyai strategi jangka panjang yang diantaranya berupa peningkatan kualitas wawasan internasional pembuat kebijakan atau perunding, meminimalisir ketergantungan terhadap produk impor, mengembangkan industri domestik serta memaksimalkan implementasi norma-norma yang telah ada.
1.      Peningkatan kwalitas wawasan internasional pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan
Dalam era perdagangan bebas dan era globalisasi, setiap pembuat kebijakan dibidang perdagangan internasional beserta para pelaksana kebijakan tersebut dituntut untuk memiliki wawasan internasional yang luas, dalam arti bahwa penguasaan instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait dengan perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan dilapangan.[13] Hal tersebut diperlukan agar mampu meminimalisir kecerobohan para pengambil kebijakan dalam memutuskan sebuah solusi sebagai akibat dari dampak negatif perdagangan bebas tersebut. Jangan sampai para pengambil kebijakan memperjuangkan sesuatu yang tidak menunjukan realitas di Indonesia yang akhirnya hanya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri khususnya untuk para pelaku usaha.
2.      Meminimalisir ketergantungan terhadap produk impor.
Dari kecendrungan-kecendrungan yang tengah berlangsung di arena internasional, haruslah disadari bahwa kepentingan nasional perlu diperjuangkan dengan baik dalam konteks upaya untuk mengurangi ketergantungan para konsumen terhadap barang dan jasa dari luar dan mulai membiasakan mengkonsumsi barang dan jasa buatan negeri sendiri. Secara teoritis sangat sulit untuk membuat atau mengarahkan masyarakat kepada kecintaan untuk memanfaatkan produk industri sendiri, karena alasan budaya, gaya hidup, keluarga, kelas sosial atapun alasan lain yang dapat mengontrol konsumen untuk memenuhi kebutuhannya dengan produk impor. Tidak ada aturan yang dapat memaksa selera seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Semuanya kembali kepada kesadaran para konsumen itu sendiri. Akan tetapi pemerintah dapat melakukan beberapa upaya prefentif untuk mengurangi ketergantungan tersebut salah satunya dengan meningkatkan kualitas pasar domestik agar mampu bersaing dengan produk-produk luar yang masuk ke Indonesia. Hal tersebut untuk memberikan pilihan bagi konsumen apabila terjadi persaingan barang sejenis antara produk impor dan produk domestik.    
3.      Mengembangkan industri domestik
Melihat kondisi yang ada, Indonesia perlu segera mempertajam orientasi kebijakan pembangunan industri, agar lebih searah dengan tantangan persaingan ke depan. Tanpa daya saing, potensi pasar Indonesia yang kini menduduki ranking 15 dunia hanya akan dinikmati produk asing.
Dengan jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, Indonesia sangat membutuhkan keberadaan industri yang kuat, berdaya saing di pasar dalam negeri maupun global. Industri adalah kunci bagi peningkatan kualitas hidup bangsa, sekaligus kunci bagi ketahanan perekonomian nasional. Perlu kebijakan yang didukung seluruh pemangku kepentingan, untuk menempatkan pasar dalam negeri sebagai basis pengembangan industri dalam negeri.[14]
Oleh sebab itu dalam menghadapi diberlakukannya sistem Liberalisasi Pasar Global pemerintah diharapkan melihat masalah yang dihadapi industri nasional dalam sudut pandang yang lebih luas. Jangan hanya sekadar dengan langkah protektif.
Sesungguhnya banyak di antara produk industri nasional yang berdaya saing cukup bagus, bahkan mampu menembus pasar negara maju.  Namun, mereka sering kehilangan daya saing di pasar dalam negeri sendiri akibat iklim persaingan tidak sehat, baik akibat peredaran produk ilegal maupun karena tak adanya standarisasi produk. Produk domestik harus didorong agar dapat bersaing dengan barang impor. Untuk itu, program insentif industri harus terus dilanjutkan, seperti kebijakan pembatasan pelabuhan impor untuk produk tertentu. Di sisi lain, perlu larangan ekspor segala jenis bahan baku mentah agar industri lokal tercukupi kebutuhannya. Pengembangan industri hilir (pengolahan) juga harus dilanjutkan. Insentif pengembangan industri tertentu dan di daerah tertentu harus diperluas.
Perlu terobosan percepatan proses dan penerapan standar nasional Indonesia (SNI), termasuk konsistensi pengawasan barang beredar. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian, per Januari 2009 hanya 84 produk industri yang menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), dari sekitar 4.000 produk manufaktur yang beredar. Dari 84 SNI itu, hanya 39 produk yang telah diberlakukan SNI wajib dan sudah dinoti-fikasi ke WTO.[15]
Terobosan percepatan implementasi harmonisasi tarif dan berbagai kebijakan fiskalpun diperlukan. Dalam hal ini, berbagai instrumen fiskal yang memungkinkan untuk menekan biaya produksi dan biaya usaha perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing produk industri nasional. Misalnya, fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) serta bea masuk (BM) bahan baku dan bahan baku penolong.
Pemerintah juga perlu memperkuat peran dan fungsi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI),  karena selama ini komite ini kurang optimal. Padahal, perannya sangat penting agar Indonesia bisa menerapkan bea masuk antidumping  (BMAD), guna membentengi pasar dari persaingan tidak sehat berupa dumping (harga jual ekspor lebih murah dibanding ke pasar dalam negeri). Peran KADI kian penting karena sangat mungkin di tengah arus perdagangan bebas, banyak negara yang memberi insentif, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada industrinya, melalui berbagai kebijakan di dalam negerinya.
Selain itu perlu kemudahan akses pembiayaan bagi industri (untuk permodalan revitalisasi permesinan/pabrik) meski tingkat bunga kredit kecil kemungkinan dapat serendah di negara kompetitor. Perhatian perbankan terhadap sektor industri tergolong minim sehinggga pembiayaan untuk revitalisasi pabrik sangat sulit diperoleh. Padahal revitalisasi sangat penting dilakukan untuk meningkat daya saing karena banyak diantara industri nasional yang mesin-mesinnya sudah tua.[16]
Selain itu juga perlu sinkronisasi pengembangan riset dan teknologi dengan industri agar kebijakannya sejalan dan fokus. Dalam hal ini harus ada insentif bagi industri yang melakukan pengembangan riset dan teknologi guna menarik investasi dengan teknologi yang lebih maju.
Dari sedemikian kompleksnya permasalahan yang di hadapi sektor industri manufaktur, hal yang paling mendesak diselesaikan segera adalah pembenahan masalah infrastruktur, termasuk jaminan pasokan energi. Pemerintah harus menjamin kecukupan pasokan energi (termasuk gas alam) dan memberi insentif terhadap setiap upaya diversifikasi energi yang lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, percepatan realisasi infrastruktur lainnya yang sempat tertunda, terutama akses jalan ke pelabuhan dan kawasan industri, juga harus diselesaikan. Dalam hal ini, sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah perlu ditingkatkan. Ini dilakukan agar bisa terwujud percepatan pembangunan infrastruktur dan jaminan pasokan energi seperti listrik.
4.      Memaksimalkan implementasi norma-norma yang telah ada.
Era perdagangan bebas yang sedang berlangsung di dunia melibatkan Indonesia dalam suatu hubungan internasional yang semakin luas dan intensif sebagai akibat dari keterbukaan pasar.[17] Sebagai salah satu konsekuensi logis adalah bahwa Indonesia akan semakin membutuhkan perlindungan industri domestiknya guna mengamankan kepentingan-kepentingannya dari berbagai dampak negatif yang lahir akibat hubungan perdagangan tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai salah satu Negara yang ikut serta dalam perdagangan bebas, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk mengamankan industri dalam negerinya dari ancaman kerugian atau kerugian yang disebabkan oeh lonjakan impor, lonjakan barang dumping atau jenis-jenis ancaman kerugian lainnya. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa pengaturan yang menjanjikan keamanan bagi industri domestik. Akan tetapi banyak dari aturan-aturan tersebut yang belum dapat berjalan secara optimal dalam implementasinya dikarenakan beberapa alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Oleh karena itulah agar dapat memberikan jaminan keamanan secara optimal pemerintah seharusnya mampu membenahi atau mengevaluasi ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil atau terhadap para pelaksana dari kebijakan tersebut. Hal tersebut sebagai bekal pemerintah untuk menyiapkan rencana jangka panjang dalam bidang perdagangan internasional



[1]  Lihat Pasal 30 Kepres Nomor 84. Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[2] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.246-248
[4] C.S.T. Kansil dan Chritine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 356
[5] Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi norma hukum, seperti pendapat Hans Kelsen yang mengatakan bahwa norma hukum adalah dasar tertinggi atau norma yang dibentuk bisa berarti konstitusi atau Undang-undang, sedangkan pendapat lain bahwa norma hukum adalah seperangkat kepatutan yang dinilai dalam suatu masyarakat. Adapun norma yang dimaksud penulis disini adalah norma seperti yang dimaksud oleh Hans Kelsen, yang berarti norma sebagai dasar yang tertingi yang telah berbentuk undang-undang atau yang lainnya.
[6] C.S.T. Kansil dan Chritine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 359
[7] Lihat lampiran 1
[8] Arief Budiman, Teori Pembangunan dunia Ketiga, (Jakarta:PT Gramedia, 1995), hlm. 24
[9] Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional, Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang, cetakan pertama, (Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 2010), hlm. 111
[10] Ibid, hlm. 112
[11] http://hukumonline.com/berita/baca/hol22560/inpres -pembangunan ekonomi-kreatif, akses 29 November 2011
[12] Ida Susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, cetakan pertama (Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2003), hlm 431
[13] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 283
[14] Rahmat Gobel, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Menghadapi Persaingan Global, Inspirasi Blog.com
[15] Rahmat Gobel, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Menghadapi Persaingan Global, Inspirasi Blog.com
[16] Rahmat Gobel, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Menghadapi Persaingan Global, Inspirasi Blog.com
[17] Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukumdan Non Hukum, cetakan pertama (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 236