KOMITMEN DAN LANGKAH-LANGKAH
PEMERINTAH INDONESIA DALAM MELINDUNGI INDUSTRI DOMESTIK
A.
Komitmen Pemerintah Terhadap
Perlindungan Industri Domestik Melalui Safeguard dan Anti-Dumping
Secara formal komitmen pemeritah untuk
mengamankan industri dalam negerinya dari lonjakan impor barang sejenis dan
praktek-praktek persaingan dagang yang tidak sehat telah diwujudkan dalam
pembentukan beberapa aturan perundang-undangan, Kepres atau aturan serupa
lainya yang berfungsi untuk mengantisipasi datangnya dampak negatif yang
ditimbulkan dari perdagangan tersebut. Seperti Kepres Nomor 84 Tahun 2002
Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor,
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang
Dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguards), Undang-undang Nomor 17 Tahun
2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun1995 Tentang Kepabeanan,
Keputusan Menteri Perindustrian serta Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000
Tentang Pembentukan Komete Anti-Dumping Indonesia.
Dalam beberapa kasus yang melibatkan
Indonesia dengan Negara-negara maju, seperti kasus dumping kertas yang dituduhkan
oleh Korea Selatan terhadap beberapa perusahaan eksportir produk kertas
Indonesia, komitmen tersebut diperlihatkan dengan usaha pemerintah untuk
menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip
multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi. Dimulai
dari tahap konsultasi penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Mechanism
(DSM) sampai pada pengajuan permohonan
ke (Dispute Settlement Body (DSB) WTO.
Adapun komitmen lain yang dilakukan
pemerintah sebagai langkah antisipasi dampak negatif dari keberadaan
perdagangan bebas yaitu dengan membentuk beberapa lembaga dan tim
penanggulangan masalah industri dan perdagangan seperti:
1.
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia
(KPPI)
Komite
pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) merupakan institusi pemerintah yang
dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan Keputusan Mentri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 84/MPP/Kep/2003 Tentang Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia.
Tugas
pokok KPPI ialah menyelidiki kemungkinan ditetapkannya tindakan pengamanan atas
industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius karena adanya barang
sejenis atau secara langsung bersaing dengan barang yang diproduksi oleh
industri dalam negeri yang mengalami lonjakan impor besar.[1]
Selanjutnya
dalam Kepres Nomor 84. Tahun 2002 Komite tersebut berwenang untuk melakukan penyelidikan,
penundaan/penghentian penyelidikan dan segala keputusan yang berkaitan dengan
rekomendasi perubahan atau perpanjangan jangka waktu pengenaan tindakan
pengamanan serta keputusan dan/atau ancaman kerugian serius yang diderita oleh
industri dalam negeri akibat lonjakan impor.
2.
Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP)
Direktorat
Pengamanan Perdagangan (DPP) berperan dalam menghadapi tuduhan Negara lain
terkait dengan membanjirnya produk Indonesia di pasar Negara tersebut sehingga
menimbulkan kerugian. Selain itu Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) juga
berperan dalam menghadapi tuduhan praktik dumping dan subsidi.
Dalam
hal terjadinya tuduhan tersebut pemerintah Indonesia melalui Direktorat
Pengamanan Perdagangan (DPP) Direktorat Jendral Kerja Sama Perdagangan
Internasional Departemen Perdagangan dalam hal:
a.
Mendapatkan informasi tuduhan
dumping/subsidi/ safeguard melalui perwakilan RI di luar negeri,
website, maupun stekholder lainnya dan berupaya untuk mendapatkan
document tuduhan berupa notifikasi, petisi dan daftar pertanyaan untuk
disampaikan kepada perusahaan tertuduh.
b.
Mengumpulkan bahan/informasi yang
berkaitan dengan tuduhan seperti data ekspor dan impor dalam rangka mempelajari
dan menganalisis petisi tuduhan serta untuk melakukan monitoring kasus tuduhan
dumping, subsidi dan safeguard guna mendapatkan informasi terbaru.
c.
Memberikan bantuan advokasi kepada
perusahaan tertuduh.
d.
Menyusun submisi dengan berkoordinasi
dengan para stekholder untuk disampaikan kepada otoritas Negara.
e.
Memfasilitasi upaya penyelesaian kasus
di tingkat badan penyelesaian sengketa (Dispute Settelment Body) WTO di
Jenewa.[2]
3.
Tim Penanggulangan Masalah Industri dan
Perdagangan
Tim
ini bertugas menjaga penguatan ekspor dan pengamanan FTA, bukan hanya dampak
dari ASEAN-China FTA, tapi juga FTA dari India dan Korea. Tindakan pengamanan
tersebut dilakukan tim agar referensi tarif menjadi efektif. Selain itu sebagai
upaya pencegahan masuknya penunggang-penunggang gelap ke Indonesia yang
memanfaatkan diberlakukannya FTA. Selama ini, karena banyak Surat Keterangan
Asal (SKA) yang dimiliki Indonesia ditunggangi China dalam rangka ekspor udang
dari China ke Amerika Serikat.
Tim
ini juga akan memeriksa jika terjadi lonjakan barang yang beredar di pasaran.
Sebab lonjakan barang dapat disebabkan oleh penumpang-penumpang gelap tersebut.
Selain itu yang juga menjadi perhatian dari tim ini adalah bagaimana sistem
kerja Pemberitahuan Impor Barang (PIB) di Ditjen Bea dan Cukai. Karena banyak
ketentuan Dirjen Bea Cukai yang belum berubah. Misalnya terkait biaya masuk antidumping
yang sampai saat ini tidak ada. Begitu juga dengan pengaturan safeguard
hak suatu negara yang diperkenankan untuk mengambil tindakan sementara
(emergency) untuk melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor yang
substansial dengan cara menghambat impor produk tertentu yang terbukti
merugikan industri dalam negeri yang juga sampai saat ini tidak ada.
Terdapat beberapa alasan yang memicu terbentuknya tim
tersebut seperti, daya saing masih rendah karena tingkat produktivitas dan penguasaan
pendidikan latihan yang rendah. Ketiadaannya produk unggulan sehingga menyebabkan akses pemasaran menjadi sulit akibat
pasar di Indonesia mudah diintervensi oleh negara lain. Selain itu kekurangan
infrastruktur dan ketersediaan energi.[3]
Melihat beberapa upaya tersebut, bisa
dibilang secara formalitas selain berkomitmen mendukung keberadaan perdagangan
bebas pemerintah juga mempunyai perhatian terhadap keberlangsungan pertumbuhan
perekonomian domestik. Meskipun demikian, apabila eksistensi aturan-aturan
tersebut dibenturkan dengan beberapa kasus seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka efiktivitas dan implementasi terhadap aturan-aturan tersebut perlu
mendapat kajian ulang, mengapa, kenapa dan faktor apa yang menyebabkan
kesenjangan tersebut terjadi.
Banyak analisa prediktif yang dapat
menjelaskan fenomena tersebut, misalnya seperti aturan yang memang belum mampu
mengakomodir semua permasalahan dagang internasional, pemerintah yang tidak mau
dan mampu bertindak untuk mengimplementasikan aturan tersebut ataukah ada aspek
politis lain yang menyebabkan lambatnya tindakan pengamanan tersebut? kesemua
prediksi tersebut bisa saja terjadi tergantung sudut pandang yang melihatnya.
Oleh sebab itu tidak heran apabila ada orang
yang berkata” Apabila ingin belajar hukum, maka Indonesialah tempatnya,
tetapi apabila ingin belajar penegakan hukum, maka Negara majulah wadahnya”
hal tersebut merupakan pesan bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara
penghasil prodouk hukum terbesar hanya berperan sebagai sampul, akan tetapi
dalam implementasinya sangat mentah.
Hampir lebih 63 tahun sejak ratifikasi
pengesahan organisasi perdagangan dunia WTO, Indonesia sebagai salah satu
Negara yang memberikan dukungan terhadap keberadaan perdagangan bebas belum
mampu sepenuhnya keluar dari keterpurukan krisis ekonomi.
Peningkatan pendapatan ekonomi atau
dengan motif pemerataan pembangunan sebagai landasan utama keterlibatan
pemerintah dalam perdagangan dunia sepertinya belum mampu dibuktikan sepenuhnya
meskipun dengan data-data yang menggambarkan kemajuan pesat dalam bidang
perekonomian tersebut.
Mencoba mengkonsep ulang paham Hans
Kelsen dalam pendapatnya mengenai teori Sollen dan Sein yang
berbunyi “Bahwa tujuan dan daya upaya dialami sebagai satu kesatuan, dalam
arti bahwa kerapkali daya upaya mengerjakan tujuan, yaitu perbuatan manusia
mengenai daya upaya mengerjakan tujuan merupakan sebab dari tujuan yang
dikehendakinya, dalam hal ini, terdapat hubungan kausal antara daya upaya dan
tujuan”.[4]
Oleh karena itu, hubungan daya upaya dan tujuan dapat disamakan dengan hubungan
antara norma hukum dan bentuk implementasi hukum tersebut.[5]
Apabila dibandingkan dengan pendapat di
atas, maka dapat diketahui bahwa norma hukum dan bentuk implementasi norma
hukum tersebut sebagai satu kesatuan, dalam arti bahwa seringkali upaya untuk
mengimplementasikan norma hukum tersebut merupakan sebab dari dikehendakinya
norma hukum itu dibuat. Dengan demikian antara norma hukum dan bentuk
implementasi norma hukum tersebut memiliki sebuah ikatan kausalitas dimana
dibentuknya sebuah norma hukum menuntut kepada diimplementasikannya norma hukum
tersebut. Dalam bidang ini berlaku prinsip kausalitas, yaitu: ”Bila hal ini
terjadi, maka hal tersebut terjadi pula”.
Nyatalah dalam rumusan prinsip tersebut
bahwa relasi antara hal ini dan hal itu bersifat normatif, artinya bila
terdapat sebuah norma hukum, maka harus disusul dengan pelaksanaan norma hukum
tersebut, sekalipun dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Oleh karena
implementasi sebuah norma hukum bukan hanya terletak pada faktor norma itu sendiri
akan tetapi banyak faktor eksternal yang mendukungnya, seperti peranan
pemerintah, peranan masyarakat hukum dll.
Norma dasar dapat dirumuskan dalam
bentuk suatu kaidah hukum yang dianggap sebagai yang tertinggi dalam bidang
hukum, perlu ditekankan bahwa hubungan antara norma hukum dan bentuk
implementasi norma hukum tersebut merupakan satu kesatuan, bukan berasal dari
hukum alam, karena suatu yang berasal dari hukum alam tidak ada hubungannya
dengan objek yang mempunyai suatu hak dan kewajiban.
Hukum berakar dalam satu norma dasar,
tetapi juga berpandangan bahwa efektivitas hukum menentukan apakah hukum itu
ada atau tidak ada. Hal tersebut berarti bahwa suatu implementasi norma hukum
tersebut ikut menentukan eksistensi suatu norma hukum.
Berlakunya sebuah undang-undang harus
dipandang dalam kaitannya dengan sebuah proses pembentukan norma hukum oleh
suatu instansi. Undang-undang berlaku karena dibentuk oleh instansi hukum yang
kompeten yang mampu menjamin efektivitas dan diimplementasikannya norma hukum
tersebut, jangan sampai Undang-undang hanya menjadi sebuah “huruf yang mati”
yang tidak mempunyai daya apa-apa.
Jelasnya dalam pandangan penulis yang
dikemukakan disini bahwa secara teori seharusnya tidak terdapat pemisahan
antara norma hukum sebagai (Sein) dan implementasi norma tersebut
sebagai (Sollen). Karena apabila terjadi pemisahan di antara keduanya,
maka bisa dikatakan bahwa sebuah efektivitas dan implementasi norma hukum bukan
merupakan tuntutan lahirnya sebuah norma hukum.
Kembali kepada pokok permasalahan di
atas, maka apabila ketidaksesuaian antara aturan-aturan pengamanan industri
domestik dangan fakta empiris tersebut ditarik kepada kerangka teori dasar
dalam kaitan antara norma dan fakta emperis (ada (Sein) dan harus (Sollen)),
maka aturan-aturan tersebut yang menjadi Sollen atau norma dan fakta
empiris sebagai Sein tidak
memiliki sebuah relasi yang bersifat normatif, dimana keadaan sebenarnya dari
norma dan fakta empiris haruslah bersifat kausalitas.
Dengan demikian apabila dirumuskan dalam
suatu norma hukum, maka dapat dikatakan bahwa terjadinya perbedaan antara
Kepres Nomor 84 Tahun 2002, Permendag Nomor 37, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 serta beberapa aturan pengamanan industri
domestik lainnya dangan fakta empiris dalam lingkup implementasi, maka hal
tersebut merupakan kegagalan dalam hukum atau hilangnya efektivitas norma tersebut. Jelasnya apabila dikatakan
tentang Negara secara keseluruhan. Andaikan terdapat suatu Negara tidak mampu
mengimplementasikan aturan hukum sebagaimana mestinya, maka dapat dikatakan
norma hukum tersebut telah kehilangan eksistensinya sebagai norma hukum.[6]
Mungkin di sini ada kesan bahwa
implementasi dan efektivitas menjadi dasar berlakunya hukum tersebut tidak bisa
dibenarkan seutuhnya, akan tetapi dasar berlakunya hukum adalah norma dasar.
Agar norma dasar tersebut dapat berlaku dalam situasi yang kongkrit, syarat
tertentu harus dipenuhi, yakni bahwa hukum itu efektif. Maka dapat dikatakan
bahwa hadirnya implementasi dan efektivitas norma hukum merupakan syarat mutlak
dari berlakunya hukum.
Terjadinya kesenjangan antara norma
hukum dan implementasi dari norma tersebut dapat digambarkan dengan fakta
sosial yang terjadi dalam kurun waktu 2010-2011.[7]
Banyaknya kasus terkait maraknya protes dari beberapa para pelaku usaha
domestik yang mengkritik lemahnya pengawasan pemerintah terhadap barang impor
yang masuk ke Indonesia sampai pada berlimpahnya barang dumping, menjadi saksi
bahwa pemerintah kurang peka terhadap nasib industri domestiknya. Hal tersebut
sekaligus pertanda bahwa aturan-aturan yang dibuat selama ini guna realisasi
upaya prepentif dari dampak-dampak negatif perdagangan bebas tersebut hanyalah
sebuah formalitas belaka atau sebagai penegas bahwa pemerintah telah mempunyai
komitmen dalam upaya melindungi industri domestik”Meskipun tidak pada realitanya”.
Pemerintah harus jujur terhadap keadaan
yang telah terjadi dengan tidak menipu diri sendiri dan selalu menyalahkan
pihak asing atas terpuruknya produsen dalam negeri. Tidak bisa dipungkiri
peningkatan daya saing industri dalam negeri adalah hal yang penting namun hal
itu tidak cukup jika tidak dibarengi dengan implementasi dari aturan-aturan
tentang pengendalian impor.
Terdapat beberapa faktor yang menjadi
indikator timpangnya kesimbangan antara norma hukum dengan implementasinya,
baik itu terkait dengan faktor internal yang ada di Indonesia sendiri ataupun
faktor eksternal dalam hal hubungan Indonesia dengan Negara-negara lain. Adapun
faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor ketergantungan terhadap
produk impor, faktor lemahnya diplomasi ekonomi Indonesia, prilaku konsumen di
Indonesia serta faktor kurangnya pengembangan ekonomi kreatif.
1.
Ketergantungan Terhadap Produk Impor.
Dalam teori struktural atau teori
ketergantungan secara ringkas dijelaskan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan
yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan hanya disebabkan oleh faktor
internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor
eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan
keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi
negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga.[8]
Dengan campur tangan tersebut, maka
pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk
menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, namun semakin membawa
kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan di negara Dunia Ketiga ini
disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju
kepada negara. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus
diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga melakukan roda pembangunannya secara
mandiri.
Jelasnya teori
struktural adalah teori yang berakar pada faktor-faktor
eksternal suatu negera, seperti kebijakan pemerintah, sistem birokrasi, sistem
hukum dll. Teori ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan tidak hanya menyalahkan faktor internal
serta sangat dipengaruhi ketergantungan.
Adapun faktor-faktor eksternal tersebut
salah satunya adalah motivasi demi keuntungan ekonomi. Hal ini muncul untuk
menjawab pertanyaan tentang alasan mengapa bangsa-bangsa Eropa melakukan
ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politik dan ekonomis.
Kalau melihat dari kacamata teori
tersebut, maka yang menjadi fokus adalah keterkaitan antara pemerintah
Indonesia dengan dunia luar dalam hal ketergantungan terhadap perdagangan
bebas. Memang apabila melihat kembali pendapat Mantan Presiden Soeharto bahwa “Suka atau tidak suka umat manusia dan dunia
menghadapi perubahan besar yang tidak dapat dihindari perubahan ini terutama
disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang makin cepat
dan luas, disamping itu juga perubahan dalam sikap dan pikiran manusia.
Berhubung dengan itu dunia dan umat manusia semakin kecil dan erat hubungannya
dengan satu sama lain”. Pendapat
demikian sangat logis apabila melihat dalam konteks masa sekarang, akan
tetapi timbul pertanyaan apakah ketergantungan tersebut sudah dibarengi dengan
tindakan protektif atau kesiapan yang baik oleh pemerintah ?
Karena
apabila dibiarkan begitu saja dengan keadaan perekonomian Negara yang seperti
ini, maka hal tersebut adalah tindakan bunuh diri. Indonesia sebagai bangsa
yang berdaulat dan mempunyai potensi sumber daya alam yang besar akhirnya hanya
akan menjadi boneka atau kolam impor bagi Negara-negara yang memang sudah siap
dalam menghadapi adanya perdagangan bebas.
Disini penulis tidak bermaksud untuk
mengatakan bahwa Indonesia harus mampu memutus ketergantungan dengan Negara
lain dan mulai mengoptimalkan indsutri dalam negeri dengan pemanfaatan sumber
daya alam yang sudah ada, akan tetapi maksud penulis adalah pemerintah harus
mampu memberikan jaminan bagi industri dalam negeri untuk mampu bersaing dengan
industri luar dengan mulai memanfaatkan dispensasi-dispensasi yang diberikan
oleh GATT/WTO bagi Negara-negara berkembang atau mengimplementasikan secara
maksimal aturan-aturan pengamanan yang telah ada.
2.
Kelemahan diplomasi ekonomi Indonesia.
Indonesia sebagai Negara berkembang
memiliki beberapa kelemahan dalam hal diplomasi ekonomi, yaitu kelemahan yang
terletak pada sumber daya manusia yang menjalankan diplomasi ekonomi seperti
para perunding yang terdiri dari para diplomat dan pejabat departemen tekhnis.
Para diplomat mungkin dari segi penguasaan bahasa lebih mumpuni akan tetapi
tidak dari sisi penguasaan subtansi, sementara pejabat menguasai dari sisi
subtansi akan tetapi tidak dalam penguasaan bahasa. Hal tersebut diperparah
dengan sangat sedikitnya para personil yang menguasai keterampilan untuk
merancang kalimat hukum. Keterampilan diperlukan untuk berbagai kesepakatan
yang pada akhirnya harus dituangkan dalam berbagai kalimat hukum dalam
perjanjian internasinal.[9]
Para perunding kerap memperjuangkan sesuatu
yang tidak menunjukan realitas di Indonesia. Memang bukan kesalahan mereka
semata, karena tidak ada data base dasar yang dapat dijadikan dasar sebagai
asumsi dalam perundingan yang terkait perdagangan internasional. Belum lagi
penggalangan antara birokrat dan pelaku usaha yang ada di Indonesia masih
sangat kurang dalam isu-isu perdagangan internasional sehingga apapun kebijakan
pemerintah bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan.[10]
Para perunding kerap terlalu percaya diri
(PD) untuk selalu menjadi yang terdepan dengan membawa perasaan seolah-olah
mewakili Indonesia sebagai Negara maju, bahkan lebih maju dari Negara yang
paling maju, sebagai akibatnya apa yang diperjuangkan bisa sangat liberal dan
berujung pada kecelakaan liberalisasi ekonomi.
3.
Prilaku konsumen di Indonesia.
Setiap warga Negara Indonesia adalah
konsumen karena mareka melakukan kegiatan konsumsi baik berupa barang ataupun
jasa. Dengan demikian Indonesia memiliki lebih dari 200 juta konsumen.
Indonesia merupakan pasar barang dan jasa yang mempunyai daya tarik yang kuat
bagi perusahaan-perusahaan luar untuk melakukan investasi di Indonesia, baik
dengan cara pengambilalihan saham perusahaan publik yang ada di Indonesia
ataupun melalui inpansi pasar domestik.
Globalisasi ekonomi melalui perdagangan
bebas memiliki pengaruh yang besar pada persaingan antara produk domestik dan
produk impor. Bagi konsumen, pasar banyak menyediakan produk dan merek yang
dapat memberikan pilihan kepada konsumen. Produk yang berkualitas dan merek
yang mempunyai nama besar ditambah dengan harga yang murah menjadi alasan mengapa konsumen harus memilih sebuah produk.
Adapun beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi masyarakat untuk berprilaku konsumtif terhadap produk-produk luar
diantaranya seperti faktor budaya populer, keluarga serta gaya hidup.
a.
Budaya Populer
Budaya
merupakan salah satu penentu keinginan seseorang yang paling mendasar. Bagi
sekolompok masyarakat yang menjadikan setiap kebutuhan hidupnya dengan sebuah
sertifikasi kelas sosial, maka secara otomatis akan selalu mengkonsumsi barang
dan jasa yang dapat meningkatkan popularitas dan mempertahankan kelas sosialnya
dengan jalan selalu mengkonsumsi barang dan jasa yang mempunyai nama besar atau
merek-merek terkenal dari luar negeri.
b.
Keluarga
Faktor
keluarga merupakan indikator lain yang dapat memberikan pengaruh terhadap sikap
konsumen dalam memenuhi kebutuhannya, karena fungsi kelurga sebagai bentuk
lingkungan sosial yang berskala mikro merupakan awal dari sebuah terbentuknya
pribadi-pribadi yang konsumtif terhadap barang dan jasa dari luar, baik itu
melalui prilaku yang di awali dari kedua orang tuanya ataupun yang di awali
dari anak-anak atau tetangga mereka.
c.
Gaya hidup
Adapun
faktor yang terakhir adalah gaya hidup konsumen. Gaya hidup konsumen
memeberikan kontribusi yang cukup besar terhadap prilaku dalam pemenuhan
kebutuhan hidup. Dengan akses informasi yang sangat terbuka dapat memberikan
peluang kepada seseorang untuk beradaptasi dengan gaya hidup yang baru. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan mencontoh secara fisik keseluruhan dari rambut sampai
ujung kaki, dari topi sampai sepatu, atau dari kawat gigi sampai pada cat
rambut, semua tersebut dilakukan untuk mengikuti trend atau atas nama kelas
sosial yang lebih mejanjikan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat
diketahui salah satu penyebab yang berpengaruh terhadap sikap kepercayaan
konsumen dalam memenuhi kebutuhannya dengan produk impor adalah perubahan
‘budaya’ maupun peningkatan ‘psikologis’ konsumen yang dapat meningkatkan
secara nyata sikap kepercayaannya dalam membeli dan mengkonsumsi produk impor
dibandingkan produk lokal.
4.
Kurangnya pengembangan ekonomi kreatif.
Sejatinya, dalam Inpres No. 6/2009
disebutkan, Pemerintah akan memberikan berbagai insentif dan kemudahan untuk
mengembangkan sektor idustri kreatif, baik insentif ekspor maupun subsidi impor
bahan baku. Sebanyak 14 sektor industri kreatif akan dikembangkan. Mulai dari
industri periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain,
fashion, film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni
pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak,
radio dan televisi hingga riset dan pengembangan.
Dalam inpres itu juga terpampang akan
dibentuk tim koordinasi pengembangan ekonomi kreatif untuk melakukan aksi
pengembangan pada periode 2009-2014 yang akan diketuai Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dengan wakilnya Menteri Koordinator
Perekonomian. Selain itu, Pemerintah akan memberikan berbagai insentif ekspor
dan subsidi impor bahan baku, termasuk mengembangkan infrastruktur transportasi
dan infrastruktur telekomunikasi guna memperluas jangkauan produk. Pemerintah
juga akan memberikan prioritas bantuan dan fasilitas pembiayaan industri di bidang
ekonomi kreatif yang sudah layak dan mandiri tetapi belum bankable melalui
koordinasi Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Selain dukungan fiskal dan pembiayaan,
juga akan dibuat program dari sisi pendidikan untuk menciptakan SDM kreatif
dengan peningkatan anggaran dan revisi kurikulum pendidikan yang berorientasi
pada pembentukan kreativitas dan kewirausahaan. Tak sampai di situ, Pemerintah
juga akan memberikan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha, regulasi
impor dan ekspor, subsidi untuk menjamin nilai tambah yang dinikmati dengan
adil hingga mendorong penegakan hukum atas penyelundupan, pembajakan dan
pelanggaran hak kekayaan intelektual.
Namun sayang, semua janji yang tertuang
dalam Inpres belum sesuai dengan kenyataan. Hingga kini, industri kreatif masih
kacau mencari dana untuk modal. Hal tersebut diperburuk dengan masalah
lain yang membelit pelaku usaha di industri ini adalah soal suku bunga.
pinjaman yang berkisar 16 persen.[11]
B.
Langkah Antisipasi yang Diperlukan
Untuk Masa Mendatang
Seperti yang telah diketahui, bahwa
landasan dasar pemerintah Indonesia masuk dalam sistem perdagangan global
adalah untuk menjadi salah satu Negara industri baru di kawasan Asia pasifik,
karenanya Indonesia harus melakukan trasportasi di bidang perekonomian dengan
mengubah prioritas dari sektor pertanian menjadi sektor indutri. Akan tetapi
harus diingat konsekuensi dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebut besar
kemungkinan akan mempunyai dampak pada sektor lain seperti lingkungan hidup,
keterbukaan pasar, peningkatan persaingan antar pasar domestik dan pasar modern
dll.[12]
Oleh karena itulah untuk mecegah
keberlanjutan dampak tersebut kearah yang negatif, maka Indonesia harus
mempunyai strategi jangka panjang yang diantaranya berupa peningkatan kualitas
wawasan internasional pembuat kebijakan atau perunding, meminimalisir
ketergantungan terhadap produk impor, mengembangkan industri domestik serta
memaksimalkan implementasi norma-norma yang telah ada.
1.
Peningkatan kwalitas wawasan
internasional pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan
Dalam
era perdagangan bebas dan era globalisasi, setiap pembuat kebijakan dibidang
perdagangan internasional beserta para pelaksana kebijakan tersebut dituntut
untuk memiliki wawasan internasional yang luas, dalam arti bahwa penguasaan
instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait dengan perumusan kebijakan
dan pelaksanaan kegiatan dilapangan.[13]
Hal tersebut diperlukan agar mampu meminimalisir kecerobohan para pengambil
kebijakan dalam memutuskan sebuah solusi sebagai akibat dari dampak negatif
perdagangan bebas tersebut. Jangan sampai para pengambil kebijakan memperjuangkan
sesuatu yang tidak menunjukan realitas di Indonesia yang akhirnya hanya akan
merugikan bangsa Indonesia sendiri khususnya untuk para pelaku usaha.
2.
Meminimalisir ketergantungan terhadap
produk impor.
Dari
kecendrungan-kecendrungan yang tengah berlangsung di arena internasional,
haruslah disadari bahwa kepentingan nasional perlu diperjuangkan dengan baik
dalam konteks upaya untuk mengurangi ketergantungan para konsumen terhadap
barang dan jasa dari luar dan mulai membiasakan mengkonsumsi barang dan jasa
buatan negeri sendiri. Secara teoritis sangat sulit untuk membuat atau
mengarahkan masyarakat kepada kecintaan untuk memanfaatkan produk industri
sendiri, karena alasan budaya, gaya hidup, keluarga, kelas sosial atapun alasan
lain yang dapat mengontrol konsumen untuk memenuhi kebutuhannya dengan produk
impor. Tidak ada aturan yang dapat memaksa selera seseorang untuk memenuhi
kebutuhannya. Semuanya kembali kepada kesadaran para konsumen itu sendiri. Akan
tetapi pemerintah dapat melakukan beberapa upaya prefentif untuk mengurangi
ketergantungan tersebut salah satunya dengan meningkatkan kualitas pasar
domestik agar mampu bersaing dengan produk-produk luar yang masuk ke Indonesia.
Hal tersebut untuk memberikan pilihan bagi konsumen apabila terjadi persaingan barang
sejenis antara produk impor dan produk domestik.
3.
Mengembangkan industri domestik
Melihat
kondisi yang ada, Indonesia perlu segera mempertajam orientasi kebijakan
pembangunan industri, agar lebih searah dengan tantangan persaingan ke depan. Tanpa
daya saing, potensi pasar Indonesia yang kini menduduki ranking 15 dunia hanya
akan dinikmati produk asing.
Dengan
jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, Indonesia sangat membutuhkan
keberadaan industri yang kuat, berdaya saing di pasar dalam negeri maupun
global. Industri adalah kunci bagi peningkatan kualitas hidup bangsa, sekaligus
kunci bagi ketahanan perekonomian nasional. Perlu kebijakan yang didukung
seluruh pemangku kepentingan, untuk menempatkan pasar dalam negeri sebagai
basis pengembangan industri dalam negeri.[14]
Oleh
sebab itu dalam menghadapi diberlakukannya sistem Liberalisasi Pasar Global
pemerintah diharapkan melihat masalah yang dihadapi industri nasional dalam
sudut pandang yang lebih luas. Jangan hanya sekadar dengan langkah protektif.
Sesungguhnya
banyak di antara produk industri nasional yang berdaya saing cukup bagus,
bahkan mampu menembus pasar negara maju. Namun, mereka sering kehilangan
daya saing di pasar dalam negeri sendiri akibat iklim persaingan tidak sehat,
baik akibat peredaran produk ilegal maupun karena tak adanya standarisasi
produk. Produk domestik harus didorong agar dapat bersaing dengan barang impor.
Untuk itu, program insentif industri harus terus dilanjutkan, seperti kebijakan
pembatasan pelabuhan impor untuk produk tertentu. Di sisi lain, perlu larangan
ekspor segala jenis bahan baku mentah agar industri lokal tercukupi
kebutuhannya. Pengembangan industri hilir (pengolahan) juga harus dilanjutkan.
Insentif pengembangan industri tertentu dan di daerah tertentu harus diperluas.
Perlu
terobosan percepatan proses dan penerapan standar nasional Indonesia (SNI),
termasuk konsistensi pengawasan barang beredar. Menurut data Badan Penelitian
dan Pengembangan Industri Departemen Perindustrian, per Januari 2009 hanya 84
produk industri yang menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), dari sekitar
4.000 produk manufaktur yang beredar. Dari 84 SNI itu, hanya 39 produk yang
telah diberlakukan SNI wajib dan sudah dinoti-fikasi ke WTO.[15]
Terobosan
percepatan implementasi harmonisasi tarif dan berbagai kebijakan fiskalpun
diperlukan. Dalam hal ini, berbagai instrumen fiskal yang memungkinkan untuk
menekan biaya produksi dan biaya usaha perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan
daya saing produk industri nasional. Misalnya, fasilitas pajak pertambahan
nilai (PPN) serta bea masuk (BM) bahan baku dan bahan baku penolong.
Pemerintah
juga perlu memperkuat peran dan fungsi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), karena
selama ini komite ini kurang optimal. Padahal, perannya sangat penting agar
Indonesia bisa menerapkan bea masuk antidumping (BMAD), guna membentengi
pasar dari persaingan tidak sehat berupa dumping (harga jual ekspor lebih murah
dibanding ke pasar dalam negeri). Peran KADI kian penting karena sangat mungkin
di tengah arus perdagangan bebas, banyak negara yang memberi insentif, baik
secara langsung maupun tidak langsung, kepada industrinya, melalui berbagai
kebijakan di dalam negerinya.
Selain
itu perlu kemudahan akses pembiayaan bagi industri (untuk permodalan
revitalisasi permesinan/pabrik) meski tingkat bunga kredit kecil kemungkinan
dapat serendah di negara kompetitor. Perhatian perbankan terhadap sektor
industri tergolong minim sehinggga pembiayaan untuk revitalisasi pabrik sangat
sulit diperoleh. Padahal revitalisasi sangat penting dilakukan untuk meningkat
daya saing karena banyak diantara industri nasional yang mesin-mesinnya sudah
tua.[16]
Selain
itu juga perlu sinkronisasi pengembangan riset dan teknologi dengan industri
agar kebijakannya sejalan dan fokus. Dalam hal ini harus ada insentif bagi
industri yang melakukan pengembangan riset dan teknologi guna menarik investasi
dengan teknologi yang lebih maju.
Dari
sedemikian kompleksnya permasalahan yang di hadapi sektor industri manufaktur,
hal yang paling mendesak diselesaikan segera adalah pembenahan masalah
infrastruktur, termasuk jaminan pasokan energi. Pemerintah harus menjamin
kecukupan pasokan energi (termasuk gas alam) dan memberi insentif terhadap
setiap upaya diversifikasi energi yang lebih ramah lingkungan. Di sisi lain,
percepatan realisasi infrastruktur lainnya yang sempat tertunda, terutama akses
jalan ke pelabuhan dan kawasan industri, juga harus diselesaikan. Dalam hal
ini, sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah perlu ditingkatkan. Ini dilakukan
agar bisa terwujud percepatan pembangunan infrastruktur dan jaminan pasokan
energi seperti listrik.
4.
Memaksimalkan implementasi norma-norma
yang telah ada.
Era
perdagangan bebas yang sedang berlangsung di dunia melibatkan Indonesia dalam
suatu hubungan internasional yang semakin luas dan intensif sebagai akibat dari
keterbukaan pasar.[17]
Sebagai salah satu konsekuensi logis adalah bahwa Indonesia akan semakin
membutuhkan perlindungan industri domestiknya guna mengamankan
kepentingan-kepentingannya dari berbagai dampak negatif yang lahir akibat
hubungan perdagangan tersebut.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya sebagai salah satu Negara yang ikut serta
dalam perdagangan bebas, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya
untuk mengamankan industri dalam negerinya dari ancaman kerugian atau kerugian
yang disebabkan oeh lonjakan impor, lonjakan barang dumping atau jenis-jenis
ancaman kerugian lainnya. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa pengaturan
yang menjanjikan keamanan bagi industri domestik. Akan tetapi banyak dari
aturan-aturan tersebut yang belum dapat berjalan secara optimal dalam
implementasinya dikarenakan beberapa alasan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Oleh karena itulah agar dapat memberikan
jaminan keamanan secara optimal pemerintah seharusnya mampu membenahi atau
mengevaluasi ulang terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil atau
terhadap para pelaksana dari kebijakan tersebut. Hal tersebut sebagai bekal
pemerintah untuk menyiapkan rencana jangka panjang dalam bidang perdagangan
internasional
[1] Lihat Pasal 30 Kepres Nomor 84. Tahun 2002
Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor
[2] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional,cetakan pertama, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), hlm.246-248
[3] http://hukumonline.com/berita/baca/hol22560/Tim_Penanggulangan_Afta_dibentuk,
akses 07 Desember 2011
[4] C.S.T.
Kansil dan Chritine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 356
[5] Terdapat
beberapa pendapat mengenai definisi norma hukum, seperti pendapat Hans Kelsen
yang mengatakan bahwa norma hukum adalah dasar tertinggi atau norma yang
dibentuk bisa berarti konstitusi atau Undang-undang, sedangkan pendapat lain
bahwa norma hukum adalah seperangkat kepatutan yang dinilai dalam suatu
masyarakat. Adapun norma yang dimaksud penulis disini adalah norma seperti yang
dimaksud oleh Hans Kelsen, yang berarti norma sebagai dasar yang tertingi yang
telah berbentuk undang-undang atau yang lainnya.
[6] C.S.T.
Kansil dan Chritine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 359
[7] Lihat lampiran
1
[9] Hikmahanto
Juwana, Hukum Internasional, Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara
Berkembang, cetakan pertama, (Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 2010), hlm.
111
[10] Ibid,
hlm. 112
[11]
http://hukumonline.com/berita/baca/hol22560/inpres -pembangunan
ekonomi-kreatif, akses 29 November 2011
[12] Ida Susanti
dan Bayu Seto, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, cetakan pertama
(Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2003), hlm 431
[13] Mohammad
Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 283
[14] Rahmat
Gobel, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Menghadapi
Persaingan Global, Inspirasi Blog.com
[15] Rahmat
Gobel, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Menghadapi
Persaingan Global, Inspirasi Blog.com
[16] Rahmat
Gobel, Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional Menghadapi
Persaingan Global, Inspirasi Blog.com
[17] Hata, Perdagangan
Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukumdan Non Hukum,
cetakan pertama (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 236